"Tepat sekali. Menurutku cerpenmu, mengandung imajinasi murni darimu dan juga mengandung gambaran masa depan yang telah kau anggap imajinasimu juga. Itu sebabnya cerpenmu mampu memprediksi masa depan."
"Astaga... ini semua sungguh mengejutkan. Penjelasan ini cukup masuk akal dan membuatku sedikit lebih menangkap apa yang terjadi padaku. Tapi walau begitu teori ini sangatlah rapuh dan kurang bukti, pastinya di luar sana pengkritiknya tak terhitung."
"Iya kau benar soal itu, terkadang kebenaran sungguh di luar perkiraan. Untuk mempercayai sesuatu kita tak bisa menunggu selamanya untuk sebuah konfirmasi kebenaran, karena kita bukan mahluk abadi." Sandy mengungkapkan pemikiran filsafatnya. Sejak SMA Sandy adalah orang yang berpikir filosofis, sementara Wijaya orang yang berpikir secara Ilmiah dan rasional. Tapi walau berbeda cara berpikir, mereka berdua menjadi sahabat yang saling melengkapi gagasan mereka.
"Iya, iya Mr. Aristoteles." ujar Wijaya bercanda. Beberapa saat kemudian, Wijaya pamit pulang karena hari mulai malam.
Keesokan harinya, di hari sabtu pagi Wijaya berniat pulang ke rumah orangtuanya menggunakan kereta. Tiba-tiba ponsel Wijaya berbunyi. Terlihat nama sang Editor muncul di layar ponselnya, "iya halo bang.."
"Anu Wi.. Cerpen yang kamu kirim kemarin bagus banget, tapi ceritanya terlalu panjang." ujar editor.
"Terlalu panjang bagaimana bang? semalam saya ngetik hanya 6 lembar kertas kok jadinya.."
"6 lembar apanya, ini jelas-jelas 12 lembar, ini kepanjangan buat dimuat di majalah, dan ada satu masalah wi, ceritamu ini kok sad ending sih? Pasti banyak pembaca yang tak suka dengan ending yang anti klimaks begini, tapi ya terserah kamu sih."
"hah 12 lembar, kok bisa sad ending? Ah bentar deh bang nanti saya cek dulu kayaknya ada yang salah nih, kalau misal nanti diralat boleh kan?"
"boleh sih, tapi cepat ya, ini sudah mepet banget, belum editing sama pencetakannya, tiga hari lagi majalah kita terbit." tegas editor.
"Iya iya, maaf ya Bang.." panggilan diakhiri.