Sandy mengambil laptopnya di kamarnya, lalu membuka browser dan menunjukan sesuatu pada Wijaya.
"Nih Wi, coba lihat apa yang aku temukan kemarin di internet." kata Sandy menunjukkan sesuatu.
"Precognition?"
"sebuah kemampuan Psikis, dimana pemilik kemampuan ini mampu menangkap gambaran sebuah kejadian sebelum kejadian itu terjadi, dengan kata lain, mampu melihat masa depan."
"Oke, tapi aku tidak pernah berusaha meramal bertapa atau apapun itu. Yang ku lakukan hanya melamun berimajinasi lalu menulis hasil khayalan tadi menjadi sebuah rangkaian kisah fiktif. Bagaimana aku bisa punya kemampuan Psikis?" Wijaya perlahan berusaha memahami apa yang sedang terjadi pada dirinya.
"Oke ada teori menarik, dari seorang Psikolog bernama Dr. Hermann Gustav. Psi bersama Prof. Paul Parkman. MSc. mereka mengatakan bahwa, jika dimensi waktu bisa digambarkan dalam bentuk sebuah garis linier, maka kita dapat menyimpulkan bahwa waktu adalah sebuah 'seek bar' artinya masa lalu, sekarang atau masa depan hanya sebuah urutan sesuatu yang sebenarnya sudah ada. Lalu beberapa orang di dunia ini dengan kemampuan gelombang otak misterius yang masih diselidiki oleh para Ilmuwan, mampu menangkap gambaran dari urutan kejadian yang akan terjadi selanjutnya."
"Maksudmu, orang-orang dengan kemampuan Precognition ini, otaknya mampu menangkap kejadian di masa depan dari bocoran dimensi waktu yang kita tempati begitu?"
"Ya tepat sekali, kau langsung nyambung dengan teori ini. Artinya kau punya kemampuan melihat masa depan. Dan bagaimana kau melakukannya, jawabanya saat kau melamun!" Sandy menjelaskan dengan penuh semangat.
"Melamun? Maksudmu saat aku mencoba mencari ide untuk menulis cerita fiksi?"
"Ya, untuk menulis sebuah fiksi tentunya kau butuh inspirasi, baik itu dari kehidupan nyata ataupun imajinasi. Nah saat kau berimajinasi terkadang kau membebaskan pikiranmu melayang dalam lamunan, dan tanpa kau sadari kau menangkap gambaran masa depan."
"Oke, oke, aku paham, jadi dengan kata lain, aku menangkap gambaran masa depan dan secara tidak sadar menganggapnya sebagai imajinasiku begitu?" Wijaya menyahut.