"Kakekku, Ibrahim Hasan Alsaafin berumur 84 tahun, lebih tua dari negara Zionis Israel ketika meninggal pada hari Senin lalu di Kamp Pengungsian Khan Younis. Ia masih mendambakan untuk kembali ke desanya di al-Fallujah selama 64 tahun, yang hanya berjarak 15 mil."
---
Aku tak akan pernah lupa percakapan menggelikan pada musim panas 2005 lalu. Hari itu, semua anggota keluarga pergi ke pantai. Saat matahari mulai tenggelam, ayahku memesan argilah. Tiap kali dia berhenti menghisap untuk bicara, aku mengambil pipanya dan menghisapnya beberapa kali, cukup membuat ibuku meradang. Melihat ayahku tidak keberatan anak perempuannya yang masih 14 tahun menghisap argilah, ia mengadu pada kakek yang duduk disampingku dan pura-pura tidak memperhatikan. Bagaimana pun, karena permintaan ibuku, ia bertindak.
"Linah, aku tidak suka melihat penampilanmu," suaranya terdengar melebihi setengah pantai Gaza. "Kamu cuma kulit dan tulang. Di usia ini, kamu seharusnya penuh semangat hidup! Dulu, wanita-wanita muda itu seperti ini-" dia membuat bentuk lekukan dengan kedua tangannya yang besar- "dan seperti ini!" Sebuah gerakan melekuk lainnya. "Kamu kurang makan. Badanmu seperti anak-anak." Ia makin semangat, sedangkan aku semakin dalam tenggelam di kursi yang ku duduki, pipiku terbakar, sangat sadar akan tatapan orang-orang di kursi sebelah. "Kamu harus makan daging! Daging yang banyak! Dan buah-buahan! Daging dan buah! And berbagai macam kacang!" Aku membayangkan jika pilot pesawat F-16 di atas bisa melihat gerakan liar Sido atau bahkan mungkin mendengar suaranya. "Makan! Makan daging, buah dan kacang-kacangan! Makan agar dadamu bisa tumbuh! Tapi merokok? JANGAN!"
Aku tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis karena malu. Ia memilih kata yang lazim terdengar dalam bahasa Arab.
"Tapi kamu merokok," kukatakan dalam suara pelan, putus asa menutupi penghinaan di tempat umum.
"Aku merokok karena sudah melakukannya bertahun-tahun, puluhan tahun! Sejak aku masih muda, sudah kecanduan, aku tak bisa menghentikannya."
"Kamu bisa memakai plester nikotin di lengan."
"Yang menciptakannya adalah orang bodoh. Itu tidak berguna."
"Baiklah, ada permen karet khusus yang bisa kamu kunyah -"
Ia menatapku. "Ide yang bagus! Orang tua, mengunyah permen karet dengan mulut terbuka! Heheheh."
Kakekku, Ibrahim Hasan Alsaafin berumur 84 tahun, lebih tua dari negara Zionis Israel ketika meninggal pada hari Senin lalu (27/2/2012, -penj) di Kamp Pengungsian Khan Younis. Ia masih mendambakan untuk kembali ke desanya di al-Fallujah selama 64 tahun, yang hanya berjarak 15 mil.
Dalam perjalananku ke Hebron Jum'at lalu untuk protes dunia tahunan Open Shuhada Street ketiga, taksi yang ku tumpangi melewati sebuah tanda menunjuk ke kanan dengan huruf hitam "Qiryat Gat" terpampang di sana. Hatiku tercekat di mulut, aku menjulurkan leher untuk menatap tanda itu lebih lama setelah taksi berbelok ke kiri.
Qiryat Gat adalah sebuah nama Yahudi untuk desaku al-Fallujah. Desaku menjadi pemukiman -hanya untuk Yahudi- bagi imigran Rusia pada tahun 1950-an, dan tempat salah satu pabrik manufaktur terbesar milik Intel Corporation.
Al-Fallujah telah benar-benar dibersihkan secara etnis pada 1 Maret 1949 - setahun setelah apa yang disebut kemerdekaan Israel. Sido Ibrahim waktu itu adalah seorang anak muda, 19 atau 20 tahun, bertempur dengan pasukan terjun payung Mesir melawan gerilyawan teroris Zionis, yang menyerang desa dengan jet tempur dan meriam jarak jauh selama 6 bulan. Kebanyakan penduduk desa melarikan diri, hanya membawa anak-anak. Beberapa di antara mereka bahkan meninggalkan pintu rumahnya terbuka. Sido, bersama nenek buyutku Nabeeha, bergabung dengan sejumlah penduduk desa menyediakan makanan dan pasokan kebutuhan untuk pejuang Mesir dan sukarelawan lokal mempertahankan desa. Di antara mereka ada Imam di desa kami Syeikh Hussein, yang gugur ketika jet tempur menjatuhkan bom di perlindungannya. Lima menit sebelumnya, ia melempar helm yang didapatnya dari orang Mesir pada Sido, bersikeras bahwa ia tidak memerlukannya, dan sebagai anak muda Sido lebih berhak memakainya karena ia mewakili masa depan.
Setelah enam bulan bombardir dan serangan, komunitas internasional memutuskan bahwa al-Fallujah harus dievakuasi dan berada di bawah kontrol internasional. Sido dan nenek buyutku Nabeeha saling berpelukan dan berurai air mata dengan para pejuang Mesir yang menurunkan mereka bersama penduduk sipil di Gaza lainnya dari truk mereka sebelum kembali ke Mesir. Sido tidak lupa membawa sertifikat tanah, yang masih kami simpan, dan nenek buyutku membawa kuncinya, yang juga masih kami simpan.
Aku belum pernah melihat kakek-nenekku selama enam setengah tahun, walaupun hanya berjarak sejauh 60 mil. Rasanya tidak ada beda apakah aku tinggal di Inggris atau Amerika. Kami dipisahkan satu sama lain oleh hukum rasis yang tidak masuk akal dari sebuah negara militer penjajah, yang berusaha mengelilingi hati kami dengan kawat berduri. Gaza hanya satu jam perjalanan dari Ramallah, jarak yang sama dari Portsmouth ke London, jarak yang sama dari Atlantic City ke Philadelphia.
Tidak bisa melihat Sido adalah sesuatu yang membunuhku. Kami tinggal di negara kecil yang sama, tetapi seribu satu rintangan membuat kami terikat di sisi berlawanan. Aku amat merindukan kakek-nenekku. Aku ingin mewarnai rambutku dengan henna lagi, seperti yang selalu dilakukan nenek. Aku ingin menatap matanya yang hijau dan mendengarkan dongengannya yang indah, yang membuat aku dan sepupuku menekukkan jari kaki dengan gembira ketika masih kecil.
Aku ingin mengambil gambar mereka, merekam suara Sido, melengkapi proyek kecil tentang sejarah lisan dan mendengar cerita mereka tentang al-Fallujah. Ketika ibu pertama kali mengandungku, Sido melihatnya menghisap lemon dan mengatakan padanya bahwa ia akan melahirkan anak perempuan. Aku memimpikan kunjunganku, menggoda Sido jika ia teringat bahwa ia sangat sedih karena aku tidak diberi nama Nabeeha seperti ibunya ketika aku lahir. Menyatakan bahwa orang tuaku sekarang ada di negara barat dan akan memberi nama anak-anaknya nama-nama orang kafir. Ia berhenti mengeluh setelah ibuku menjelaskan padanya bahwa "Linah" adalah nama Arab, disebutkan dalam Al-Qur'an Surat 59 ayat 5.
Selalu ada rasa bangga dan terhormat ketika aku mengatakan pada orang-orang bahwa kakek-nenekku berasal dari era sebelum negara Israel ada dan mereka masih hidup, dan masih menjadi pengungsi. Mereka adalah sejarah itu sendiri. Mereka telah hidup melewati banyak peperangan. Aku begitu bersemangat mendokumentasikan sudut pandang mereka dan mengetahui lebih banyak tentang mereka.
Sido adalah orang yang suka membantah. Emosinya tinggi dan menakutkan. Kadang-kadang kemarahannya ditunjukkan dengan melemparkan piring makanan yang telah dihidangkan. Aku ingat suatu kali pernah membantu salah seorang paman mengumpulkan potongan makanan dari langit-langit dan jendela dapur. Ia punya suara serak yang keras dan dapat dengan mudah membuat seseorang takut pada Tuhan. Di pagi hari ia akan duduk menyilangkan kaki di atas sebuah matras, membaca Al-Qur'an dengan keras, meninggikan setiap kata. Ia sangat disiplin, kalau tidak berakhir dengan mendapat kemarahan atau tongkatnya, situasinya akan berubah menjadi lelucon. Suatu kali ia pernah mengejar salah satu sepupuku hingga ke atap membawa sebuah selang karet, mengutuk garis keturunannya dan keturunan sepupuku nanti, hingga membuat para sepupu dan paman-pamanku berkaca-kaca karena tertawa terpingkal-pingkal.
Di saat yang sama, Sido punya rasa belas kasih dan kemurahan hati yang dalam. Ia menyayangi bayi, tidak pernah dengan kadar sedikit dalam keluarga kami. Sebuah kehormatan jika ia memanggilmu ke dalam kamarnya, dimana ia memberi cucu-cucunya permen dari sebuah simpanan tersembunyi. Ia akan mengeluarkan sebuah plastik tembus pandang penuh dengan koin Shekel dari lipatan dishdasheh (jubah khas Arab, -penj) putihnya, dan satu per satu membaginya untuk kami. Dulu, kamu bisa membeli banyak barang di toko permen dengan satu Shekel.
Aku sangat menginginkan kenangan terbaru dari Sido dan aku. Sebuah foto, sebuah percakapan, sebuah sentuhan.
Sido meninggal. Sebuah kenangan melintas di benakku. Musim panas, beberapa tahun lalu, listrik padam beberapa jam. Kemudian menyala kembali lewat tengah malam. Sido menyalakan TV dan membungkuk ke depan kasurnya, tertawa saat melihat The Fresh Prince of Bel-Air. Penjajahan telah melarang kami melakukan banyak hal. Hak untuk mengunjungi keluarga. Hak untuk menjadi sebuah keluarga.
Sido meninggal, dan aku pulang di suatu petang, menahan diri untuk tidak menangis, ada rasa nyeri di rongga perutku. Mataku berair ketika terpikir ayahku, sendirian di Uni Emirat Arab. Sebelumnya ibuku menelepon paman-pamanku. Salah satu dari mereka menangis keras, ibuku tidak memahaminya. Aku menelepon kembali malamnya dan mereka sepertinya lebih tenang. Aku minta bicara dengan nenekku. Telepon dipindahkan dari satu ruangan ke sebelahnya, aku menekan ponselku lebih dekat ke telinga, mendengarkan sebuah dunia yang aku tidak dapat berada di sana: suara batuk bayi, gumaman anak-anak, suara berbisik, "Ini putrinya Abdullah, bicaralah dengannya."
Pernyataan formal diberikan ketika seseorang meninggal dunia. Jawaban formal. Air mata berjatuhan.
"Hatiku sedih, ya Sitti, hatiku sedih!" Nenekku menangis.
"Tuhan memberimu kekuatan," bisikku.
"Inilah hidup, orang lahir dan mati, tapi kesedihan?!"
Aku tidak bisa menerima ketidakadilan situasi ini. Aku tidak sedang membicarakan tentang kematian, karena itu alur alamiah. Aku bicara tentang diaspora kecil dalam keluargaku.
Kadang rasanya keterlaluan sekali, bagaimana kami tidak bisa bersama karenakesintingan sebuah pemerintah xenophobic, seluruh negara menghendakinya. Kesedihan dan duka, penderitaan dan keputusasaan sama sekali tidak masuk akal bagi yang menganggap alasan mengapa kami harus mengalami semua ini. Aku percaya warna kulitku tepat, tapi agamaku tidak. Aku tidak bicara bahasa Ibrani yang terpilih. Sulit dimengerti jika manusia harus menjadi penyebab penderitaan manusia lain didasarkan pada beberapa ideologi imperialis, jika kamu benar-benar memikirkannya. Aku tidak bisa
menerimanya, dan aku tidak dapat berbuat apa-apa, dan siapa yang peduli? Nama belakangku bukan Levy atau Goldberg atau Schliemann. Apa yang menjadi hak asasi untuk seorang Palestina jika kamu telah menjadi sangat tidak manusiawi di mata dunia?
Keluargaku ingin pergi ke Gaza musim panas lalu, tapi sepertinya tidak berhasil. Jadi kami menundanya hingga Januari, tapi tidak juga berhasil. Aku telah menegaskan dalam pikiran bahwa Juni ini, apapun yang terjadi aku akan pergi ke Gaza, insya Allah. Sekarang sudah sangat terlambat.
Hal terberat adalah bicara pada ayah, sendirian tanpa istri dan anak-anak untuk menenangkannya. Amat berat mendengar ayahmu sesenggukan di telepon. Ia mengatakan padaku ini:
"Baru dua hari yang lalu, aku terpikir bahwa kamu hanya satu jam berkendara dari keluargamu dan kamu masih tidak bisa melihat mereka...Aku merasa hancur dalam ketidakadilan. Tapi aku menenangkan diri membayangkan Juni nanti ketika kita semua bisa bertemu kembali, kamu dan saudarimu Deema akan berkesempatan menjenguk Sido...tapi ia tidak menunggu. Bukan hanya untukku...Sido, ayahku, terburu-buru...seperti biasanya...dia meninggalkan kita...tapi tidak akan pernah kembali..dan Juni akan datang ke dunia ini, tapi Sido tidak ada di sana, Allah yarhamuh...Ia telah menghabiskan masa mudanya berjuang membuat kita bahagia dan membuat kita tumbuh dewasa untuk menghargai kecintaan pada tanah air, dan ia menanamkan dalam diri kita kecintaan pada kejujuran, keadilan dan kebenaran...Ia mencintai Mamamu, ia selalu memanggilnya putri kelimanya. Ia mencintaimu, Mohammad, Ahmad dan Deema...Aku bisa melihat kebahagiaan di kedua matanya ketika ia bicara denganmu, dan selalu menyalahkanku karena tidak tinggal di Gaza...di sampingnya."
---
*Diterjemahkan langsung dari tulisan Linah Alsaafin yang diterbitkan oleh The Electronic Intifada pada hari Selasa, 27 Februari 2012 lalu, dengan seizin redaksi.
*Tulisan asli dalam Bahasa Inggris dapat dibaca di tautan ini: http://electronicintifada.net/blogs/linah-alsaafin/my-grandfather-passed-away-and-i-was-denied-right-see-him
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan selanjutnya: Tim Indonesia Juara International English Debate Contest III di Kairo
Tulisan sebelumnya: Menggapai Purnama di Jabal Musa (bag. 2 habis)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H