Mohon tunggu...
Faisal Zulkarnaen
Faisal Zulkarnaen Mohon Tunggu... -

Warga Negara Indonesia tinggal di Kairo. \r\n| Twitter: @fzulkarnaen | Indonesian Photographic Society in Cairo (IPSC) |\r\nhttp://www.facebook.com/galerimasisir

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sepenggal Kisah dari Palestina; Kakek Meninggal dan Aku Dilarang Melihatnya

3 Maret 2012   19:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:33 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia menatapku. "Ide yang bagus! Orang tua, mengunyah permen karet dengan mulut terbuka! Heheheh."

Kakekku, Ibrahim Hasan Alsaafin berumur 84 tahun, lebih tua dari negara Zionis Israel ketika meninggal pada hari Senin lalu (27/2/2012, -penj) di Kamp Pengungsian Khan Younis. Ia masih mendambakan untuk kembali ke desanya di al-Fallujah selama 64 tahun, yang hanya berjarak 15 mil.

Dalam perjalananku ke Hebron Jum'at lalu untuk protes dunia tahunan Open Shuhada Street ketiga, taksi yang ku tumpangi melewati sebuah tanda menunjuk ke kanan dengan huruf hitam "Qiryat Gat" terpampang di sana. Hatiku tercekat di mulut, aku menjulurkan leher untuk menatap tanda itu lebih lama setelah taksi berbelok ke kiri.

Qiryat Gat adalah sebuah nama Yahudi untuk desaku al-Fallujah. Desaku menjadi pemukiman -hanya untuk Yahudi- bagi imigran Rusia pada tahun 1950-an, dan tempat salah satu pabrik manufaktur terbesar milik Intel Corporation.

Al-Fallujah telah benar-benar dibersihkan secara etnis pada 1 Maret 1949 - setahun setelah apa yang disebut kemerdekaan Israel. Sido Ibrahim waktu itu adalah seorang anak muda, 19 atau 20 tahun, bertempur dengan pasukan terjun payung Mesir melawan gerilyawan teroris Zionis, yang menyerang desa dengan jet tempur dan meriam jarak jauh selama 6 bulan. Kebanyakan penduduk desa melarikan diri, hanya membawa anak-anak. Beberapa di antara mereka bahkan meninggalkan pintu rumahnya terbuka. Sido, bersama nenek buyutku Nabeeha, bergabung dengan sejumlah penduduk desa menyediakan makanan dan pasokan kebutuhan untuk pejuang Mesir dan sukarelawan lokal mempertahankan desa. Di antara mereka ada Imam di desa kami Syeikh Hussein, yang gugur ketika jet tempur menjatuhkan bom di perlindungannya. Lima menit sebelumnya, ia melempar helm yang didapatnya dari orang Mesir pada Sido, bersikeras bahwa ia tidak memerlukannya, dan sebagai anak muda Sido lebih berhak memakainya karena ia mewakili masa depan.

Setelah enam bulan bombardir dan serangan, komunitas internasional memutuskan bahwa al-Fallujah harus dievakuasi dan berada di bawah kontrol internasional. Sido dan nenek buyutku Nabeeha saling berpelukan dan berurai air mata dengan para pejuang Mesir yang menurunkan mereka bersama penduduk sipil di Gaza lainnya dari truk mereka sebelum kembali ke Mesir. Sido tidak lupa membawa sertifikat tanah, yang masih kami simpan, dan nenek buyutku membawa kuncinya, yang juga masih kami simpan.

Aku belum pernah melihat kakek-nenekku selama enam setengah tahun, walaupun hanya berjarak sejauh 60 mil. Rasanya tidak ada beda apakah aku tinggal di Inggris atau Amerika. Kami dipisahkan satu sama lain oleh hukum rasis yang tidak masuk akal dari sebuah negara militer penjajah, yang berusaha mengelilingi hati kami dengan kawat berduri. Gaza hanya satu jam perjalanan dari Ramallah, jarak yang sama dari Portsmouth ke London, jarak yang sama dari Atlantic City ke Philadelphia.

Tidak bisa melihat Sido adalah sesuatu yang membunuhku. Kami tinggal di negara kecil yang sama, tetapi seribu satu rintangan membuat kami terikat di sisi berlawanan. Aku amat merindukan kakek-nenekku. Aku ingin mewarnai rambutku dengan henna lagi, seperti yang selalu dilakukan nenek. Aku ingin menatap matanya yang hijau dan mendengarkan dongengannya yang indah, yang membuat aku dan sepupuku menekukkan jari kaki dengan gembira ketika masih kecil.

Aku ingin mengambil gambar mereka, merekam suara Sido, melengkapi proyek kecil tentang sejarah lisan dan mendengar cerita mereka tentang al-Fallujah. Ketika ibu pertama kali mengandungku, Sido melihatnya menghisap lemon dan mengatakan padanya bahwa ia akan melahirkan anak perempuan. Aku memimpikan kunjunganku, menggoda Sido jika ia teringat bahwa ia sangat sedih karena aku tidak diberi nama Nabeeha seperti ibunya ketika aku lahir. Menyatakan bahwa orang tuaku sekarang ada di negara barat dan akan memberi nama anak-anaknya nama-nama orang kafir. Ia berhenti mengeluh setelah ibuku menjelaskan padanya bahwa "Linah" adalah nama Arab, disebutkan dalam Al-Qur'an Surat 59 ayat 5.

Selalu ada rasa bangga dan terhormat ketika aku mengatakan pada orang-orang bahwa kakek-nenekku berasal dari era sebelum negara Israel ada dan mereka masih hidup, dan masih menjadi pengungsi. Mereka adalah sejarah itu sendiri. Mereka telah hidup melewati banyak peperangan. Aku begitu bersemangat mendokumentasikan sudut pandang mereka dan mengetahui lebih banyak tentang mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun