Jika kau peminat senja, ke tempat ini adalah pilihan. Sebab kau akan menemukan senja dengan tubuh molek, tatapan yang syahdu dan wajahnya yang bercahaya dengan senyum khas sore. Aku biasa menyebutnya senja merona.
Harusnya aku punya kesempatan merayu dan mengikatnya dalam cinta, namun apalah daya, aku telah lebih dulu mengikat Humairan sebagai puanku. Memang dia menyuruhku merayu senja, tapi bukan senja itu.
Maka aku mengabarkan ke kalian agar cepat merayu senja, jika lengah sedikit dengan waktu maka kalian tak akan menemukan senja ini, senja yang beda yang tatapanya muram, wajahnya kelabu dan senyumnya tumpul pada malam.
"Pandangilan senja itu, bukankah seperti itu yang kau inginkan." Kataku di atas timbunan yang menjulang ke laut membentuk tanjung.
"Iya, seperti itu. Aku mau hidup dalam cahaya, mati dalam waktu dan kembali pada waktu yang lain dengan wujud yang sama."
Eits, sampai disini aku tidak bersepakat, kau tidak akan seperti itu. Sebab kau tak punya khendak bebas untuk itu."
Khendak bebas?
Iya, kita ini adalah sebuah potongan kenangan yang ditarik keluar dari saku penyair. Maka mau tak mau kau harus menuruti khendak penyair. Syaranku agar kau mengikuti alur cerita untuk tidak membuat kecewa. Sampai disini aku paham?
Oh iya, aku baru sadar bahya kita hanya hidup dalam narasi. Oke lah, aku menuruti khendaknya.
"Aku tak bersepakat untuk itu."
"Mengapa demikian?"