"Tapi kenapa kau ingin jadi seperti senja?"
"Sebab senja terlalu polos, dia menyulap semua menjadi yang lain. Dia menjadi penunggu setia di unjung hari."
"Bukankah tidak kau pikirkan bahwa senja seperti ombak?"
"Tidak kutemukan wujud senja dalam wajah dan tubuhnya."
"Jika senja punya kesabara menunggu hari, maka ombakpun demikian dengan kesabaranya melukis pasir. Jika senja punya keindahaan cahaya dalam wajahnya, maka ombak pun demikian. Punya kemolekan tubunya yang bisa merayu sepasang kekasi menyimaknya lebih dalam. Tapi aku tak mau menjadi keduanya."
"Lalu apa?"
"Aku hanya ingin menjadi ranting yang selalu setia menompang pelepah daun."
"Kok gitu?"
"Iya, seperti aku yang selalu menyertai dan menyayangimu tanpa batas."
Dan dia langung tersipu malu sembari memeluk tubuhku dengan manja. Memeluknya dalam dan dalam sekali.
Suda aku duga, si penyair itu terlalu mendramatisasi sebuah kondisi yang akupun tidak melakukanya. Aku muak dengan penokohanku, hanya itu dan itu saja membuat aku selalu dijadikan bulan-bulanan pembaca. Tapi kuharap tidak untuk yang ini.
***