Mohon tunggu...
Faisal yamin
Faisal yamin Mohon Tunggu... Nelayan - Belajar menulis

Seorang gelandangan pikir yang hobi baca tulisan orang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Matinya Pejuang

6 November 2019   23:53 Diperbarui: 7 November 2019   00:01 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Surya lalu, senja antar siang sambut malam. Lengkungan cakrawala hampir seluruhnya gelap, terlihat hanya sedikit cahaya merah di ufuk barat. Burung gereja yang lalu lalang di atap benteng satu per satu kian tak terlihat.
Pak tua, yang saban hari menjejalkan es cendol seputar benteng juga suda tutup warung. Hanya menyisahkan beberapa pasangan muda mudi yang memaduh asmara di pojok kiri benteng, juga beberapa gerombolan para musafir intelektual yang bersemedi dipelataran taman tepat didepan benteng.

Saya duduk di atas meriam yang letaknya dipelataran tepat di depan pintu masuk benteng. Saya terdiam, sembari melihat dan mengamati purnama yang perlahan merangkak naik lepas dari ufuk. Lampu lampu merkuri di sisi kiri dan kanan satu per satu juga terlihat mulai dinyalahkan. Sesaat, imajinasi tentang bait-bait puisi datang membuntuti isi kepala. Tak lama, naluri kemudian menuntun jari jemari untuk mulai bermain di atas layar handphone dengan ukiran bait cinta.

Di bibir pasif kutaru harap
Di unjung halmahera kutaru jarak
Di awal hari kutaru doa
Di ahir senja kurayu usia

Pada jarak yang seabat usiahnya
Tembok-tembok yang mulai keropos
Di tanah tua, pala, cengkih juga kelapa berdiri  pucat
Dedaunan gugur dari ranting yang kian keropos...

Sesaat imajinasi saya terhenti, jari jemari saya serasa kaku, tak bisa melanjutkan apa yang hendak saya tulis. Kepala serasa pening, banyak tanya menghujani isi kepala. Pikiran lalu membawa saya pada barisan kata dari narasi di sebuah media.

"Timur dalam himpitan tambang". Sebuah narasi yang tak henti mengias dinding akali, sesekali hilang kemudian balik. Padahal sudah beberapa waktu lalu saya baca. Namun masih saja bergelayut dalam ruang pikir. Tulisan yang menurut saya menelanjagi mereka yang adi kuasa. Mengungkap fakta bagaimana nasib mereka dipelataran tambang terlucuti.

Saya bertanya-tanya dalam diri. "Ditanah ini dulu kekayaan alam dikeruk, para moyang kami menderita dan sudah mati ulang-ulang. Bukankah apa yang mereka lakukan saat ini tak lain seperti dulu?"

"Ini yang namanya penjajahan gaya baru" jawab saya mencoba

"Jika demikian, apa mereka tak pikir"? Saya menimpali lagi.

Di tanah tua, dan paling tua mereka datang mengeruk hasil. Tanpa pikir, mereka habisi semua ladang, memusnahkan tanaman cengkih, pala dan juga kelapa. Ladang warga diambil alih tanpa kompromi, para pemilik tak sempat melakukan pembelaan diri. Saya tak bisa menafsirkan lebih jauh lagi.

Saya fikir dan langsung merasa bahwa diri saya gagal. Entahlah, mungkin karena saya seorang abdi negara yang tak merasakan bagaimana susahnya jadi petani. Atau tak bisa merasakan nasib seorang penjuang yang mempertahankan para mereka rakyat kecil.

Rasanya sungguh menyesal sebagai seorang abdi yang mengabdikan diri untuk negara tapi mengabaikan nasib warga kecil di pelataran rimba.
***

"Hutan lindung yang didalamnya tanaman purba juga hewan edemik dibabat oleh mereka" kata Rustam pagi itu.

"Kenapa demikian, bukankah semua itu ada aturanya?"

"Iya, aturan telah mengikat semua. Tapi otoritas saat ini tak lagi berpusat pada aturan negara. Semua dikembalikan para pemilik modal"

Saya diam, kemudian melanjutkan "sepertinya ini pembuktian dari pernyataan Robert Dhal yang pernah berujar bahwa jika semua dikembalikan kepada mekanisme pasar, maka tunggulah kehancuran negara"

Suasana hening, dia memanggut dengan gurat wajah kecewa tak mampu berbuat lebih, sebab jika hal demikian, rasanya adikuasa pun tak punya legitimasi. Dia meneguk kopinya, kemudian melanjutkan lagi.

"Kau tau, diutara H. Ada sekelompok warga yang biasa disebut suku pedalaman. Mereka telah lama mendiami dan melangsungkan hidup disana, namun atas kehadiran tambang. Mereka nanti terpaksa harua keluar atau cari tempat lain buat mukim mereka"

Saya terdiam, apakah pemerintah tak mampu melihat itu? Padahal keberlangsungan mereka sangatlah penting. Bukankah itu bagian dari warisan budaya lampau?. Harusnya mereka dilindungi dan memiliki otoritas menjalani dan mengatur hidup, sistem dan tata wilayah mereka. Pikir saya dalam diam.

"Bagaimana bisa seperti itu? Bukankah mereka harus dijaga? Kehadiran mereka juga bagian dari pelestarian hutan disana" ujar saya

Dengan cepat dia menyahut "iya, saya juga bingung. Mereka kan manusia yang punya hak untuk hidup dan menjalankan kegidupan, sekalipun mereka hidup di rimba, namun mereka tetap diakui dalam aturan"

Batin saya serasa diiris iris, saya tak mampu meraba sampai sejauhnya. Yang saya pikirkan hanyalah bagaimana jika saya duduk di posisi mereka, tentu sakit dan derita sebab tanah dan tempat di daulat oleh mereka.

"Hanya karena isi perut, sesama kita saling korban mengorbankan. Panglima revolusi rupanya suda melukiskan ketakutanya di waktu lampau, ketakutannya itu adalah penjajahan dan di lakukan oleh bangsa sendiri"

"Lantas apa yang harus kita lakukan? Kita ini abdi negara, jika tak melakukan apa apa yah kita suda lupa dan hilang akal bahwa mereka para warga adalah donatur hidup kita"

"Lalu mau bagaimana? Kau mau melawan atasan? Ujungnya kau dimutasi dan diberhentikan karena dianggap tak patu pada pimpinan, mau kamu kaya gitu?"

Dia diam, rupanya pikir pikir. Rupanya dia termakan dengan kata kata saya tentang mutasi dan copot itu. Seaat dia melanjutkan. "Jika demikian maka saya relah berjuang sekalipun dimutasi dan dicopot, toh tak jadi seperti ini juga kita hidup kok"

Saya tersenyum pelan, sembari menyelesaikan secangkir kopi saya. "Iya seperti itu keputusan yabg harus diambil. Lebih baik hidup jadi rakyat kecil dan makan seadaanya dari pada jadi besar dan abdi negara yang bergantung pada ranyat kita"

Sambil mengganguk pelan. Dia nyalahkan roko sambil meneguk kopinya yang sisah sedikit.
***

"Bung tak tertarik untuk melakukan infestigasi didaratan H? Di sanakan banyak masalah" kata saya ke Rumi yang masih sibuk menyapu lensa kamera. Sore itu kami duduk diberanda rumahnya, diskusi mengenai rutinitas sembari meminun air guraka dan pisang goreng.

"Terlalu beresiko bung, sebetulnya saya risau dengan kondisi disana" jawabnya yang juga masih menyekah lensa

"Beresiko bagaimana? Bukankah itu ada tugas bung sebagai jurnalis kan?"

Dia diam, sesaat meletakkan body dan lensa kameranya di meja dan melanjutkan. "Iya bung, harus butuh metal baja untuk melakukan investigasi demikian bung"

Saya raih secangkir guraka dan menyeruputnya pelan. "Menu yang pas bung". "Iya," sahutnya. Saya lanjutkan "kau bukanya jurnalis investigasi yah? Dan jika suda berani masuk diruang ini harus siap dengan semua"

"Iya memang demikian, tapi saya masih butu pikir. Sebelumnya rekan saya pernah menginvestigasi soal pembalakan liar oleh perusahan kayu Mangkile dilereng gunug M, berhasil memang sampai membongkar kasus itu, namun dihari selanjutnya diamana dia dengan empat orang teman ke tempat itu. Ketika hendak pulang, dia diketahui sebagai jurnalis, sesaat orang-orang perusahan itu menodongnya dengan senjata tajam, dia pucat minta ampun bung" ujarnya dengan wajah serius dan sedikit takut.

"Itu wajar bung, lagian jika mati, maka matimu tak sia-sia, karna membela tang benar"

"Ah kau ini bung"

"Iya bung, kau tau. Banyaknya kejahatan yang terjadi itu karena tidak ada orang baik. Namun karena orang baik yang terlalu banyak diam."
***

"Kenapa kau tulis demikian?" Bentak seorang dengan tubuh besar kekar lagi hitam. Saya disekap dalam gudang kecil, saya tak tau persis siapa yang berbuat ini, yang pasti ini ada sangkut pautnya dengan puisi dan opini yang saya tulis mengenai ekspolitasi tambang  dipulau H beberapa hari lalu.

"Saya hanya ingin menyampaikan apa yang dirasakan oleh mereka yang tergusur"

Seorang pria dengan cepat langsung mendaratkan sepatunya tepat dihidung. Dara panas serasa mulai mengalir di bibir, saya tak bisa menyekahnya. Tangan saya diikat keras. Sesaat saya dipapah berdiri oleh laki-laki yang membentak saya. Kemudian seorangnya lagi menimpali perut saya dengan sebuah balok. Saya tersungkur.

Otoritas mereka terlalu kuat, berani buka mulut akibat fatal. Dan apa yang saya alami adalah demikian. Tapi satu hal yang buat saya tak takut sedikitpun adalah saya telah berhasil membela dan membongkar sisi kelam dunia eksploitasi. Disana masyarakat terpinggir dan tak mendapat kompensasi, hutan dibabat, lahan digusur, sebentar masyarakat miskin. Maka, sekalipun saya mati, masyarakat lain tau bagaimana dan seperti apa nasib mereka diarea eksploitasi.

"Terimalah nasib bagi orang-orang yang mau melawan"

Prakkkk.... Benda tumpul mendarat tepat dikepala saya.

"Kau tau, seorang pejuang dilarang mati".

Ternate, 04 Nobember 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun