Rasanya sungguh menyesal sebagai seorang abdi yang mengabdikan diri untuk negara tapi mengabaikan nasib warga kecil di pelataran rimba.
***
"Hutan lindung yang didalamnya tanaman purba juga hewan edemik dibabat oleh mereka" kata Rustam pagi itu.
"Kenapa demikian, bukankah semua itu ada aturanya?"
"Iya, aturan telah mengikat semua. Tapi otoritas saat ini tak lagi berpusat pada aturan negara. Semua dikembalikan para pemilik modal"
Saya diam, kemudian melanjutkan "sepertinya ini pembuktian dari pernyataan Robert Dhal yang pernah berujar bahwa jika semua dikembalikan kepada mekanisme pasar, maka tunggulah kehancuran negara"
Suasana hening, dia memanggut dengan gurat wajah kecewa tak mampu berbuat lebih, sebab jika hal demikian, rasanya adikuasa pun tak punya legitimasi. Dia meneguk kopinya, kemudian melanjutkan lagi.
"Kau tau, diutara H. Ada sekelompok warga yang biasa disebut suku pedalaman. Mereka telah lama mendiami dan melangsungkan hidup disana, namun atas kehadiran tambang. Mereka nanti terpaksa harua keluar atau cari tempat lain buat mukim mereka"
Saya terdiam, apakah pemerintah tak mampu melihat itu? Padahal keberlangsungan mereka sangatlah penting. Bukankah itu bagian dari warisan budaya lampau?. Harusnya mereka dilindungi dan memiliki otoritas menjalani dan mengatur hidup, sistem dan tata wilayah mereka. Pikir saya dalam diam.
"Bagaimana bisa seperti itu? Bukankah mereka harus dijaga? Kehadiran mereka juga bagian dari pelestarian hutan disana" ujar saya
Dengan cepat dia menyahut "iya, saya juga bingung. Mereka kan manusia yang punya hak untuk hidup dan menjalankan kegidupan, sekalipun mereka hidup di rimba, namun mereka tetap diakui dalam aturan"
Batin saya serasa diiris iris, saya tak mampu meraba sampai sejauhnya. Yang saya pikirkan hanyalah bagaimana jika saya duduk di posisi mereka, tentu sakit dan derita sebab tanah dan tempat di daulat oleh mereka.