"Iya memang demikian, tapi saya masih butu pikir. Sebelumnya rekan saya pernah menginvestigasi soal pembalakan liar oleh perusahan kayu Mangkile dilereng gunug M, berhasil memang sampai membongkar kasus itu, namun dihari selanjutnya diamana dia dengan empat orang teman ke tempat itu. Ketika hendak pulang, dia diketahui sebagai jurnalis, sesaat orang-orang perusahan itu menodongnya dengan senjata tajam, dia pucat minta ampun bung" ujarnya dengan wajah serius dan sedikit takut.
"Itu wajar bung, lagian jika mati, maka matimu tak sia-sia, karna membela tang benar"
"Ah kau ini bung"
"Iya bung, kau tau. Banyaknya kejahatan yang terjadi itu karena tidak ada orang baik. Namun karena orang baik yang terlalu banyak diam."
***
"Kenapa kau tulis demikian?" Bentak seorang dengan tubuh besar kekar lagi hitam. Saya disekap dalam gudang kecil, saya tak tau persis siapa yang berbuat ini, yang pasti ini ada sangkut pautnya dengan puisi dan opini yang saya tulis mengenai ekspolitasi tambang  dipulau H beberapa hari lalu.
"Saya hanya ingin menyampaikan apa yang dirasakan oleh mereka yang tergusur"
Seorang pria dengan cepat langsung mendaratkan sepatunya tepat dihidung. Dara panas serasa mulai mengalir di bibir, saya tak bisa menyekahnya. Tangan saya diikat keras. Sesaat saya dipapah berdiri oleh laki-laki yang membentak saya. Kemudian seorangnya lagi menimpali perut saya dengan sebuah balok. Saya tersungkur.
Otoritas mereka terlalu kuat, berani buka mulut akibat fatal. Dan apa yang saya alami adalah demikian. Tapi satu hal yang buat saya tak takut sedikitpun adalah saya telah berhasil membela dan membongkar sisi kelam dunia eksploitasi. Disana masyarakat terpinggir dan tak mendapat kompensasi, hutan dibabat, lahan digusur, sebentar masyarakat miskin. Maka, sekalipun saya mati, masyarakat lain tau bagaimana dan seperti apa nasib mereka diarea eksploitasi.
"Terimalah nasib bagi orang-orang yang mau melawan"
Prakkkk.... Benda tumpul mendarat tepat dikepala saya.
"Kau tau, seorang pejuang dilarang mati".