Hukum Gharar dalam Transaksi: Gharar adalah ketidakpastian yang tinggi dalam transaksi yang dilarang dalam Islam. Bitcoin, yang nilainya sangat fluktuatif dan tidak didukung oleh otoritas sentral, dianggap mengandung gharar. Oleh karena itu, Bitcoin tidak memenuhi syarat sebagai alat pembayaran zakat yang sah.
Norma hukum
 yang berkaitan dengan penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran zakat dalam perspektif Hukum Ekonomi Syariah dapat disusun berdasarkan beberapa prinsip dasar dalam hukum Islam, seperti larangan terhadap unsur gharar (ketidakpastian), maysir (perjudian), dan riba (bunga), serta ketentuan tentang sifat dan karakteristik harta yang dapat dikenakan zakat. Berikut adalah norma hukum terkait penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran zakat:
1. Syarat Sah Harta untuk Zakat:
Dalam hukum Islam, harta yang dapat dizakatkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:
- Milik penuh: Harta harus sepenuhnya dimiliki oleh pemilik tanpa adanya klaim atau hak dari pihak lain.
- Berkembang: Harta yang wajib zakat adalah harta yang memiliki potensi untuk berkembang atau bertambah.
- Mencapai nishab: Harta harus mencapai batas minimal tertentu (nishab) yang ditentukan oleh syariah.
- Terbebas dari riba dan gharar: Harta yang terkena unsur riba atau ketidakpastian (gharar) tidak dapat dijadikan objek zakat.
Sebagian ulama menganggap Bitcoin sebagai instrumen yang spekulatif dan tidak stabil, yang membuatnya kurang sesuai dengan prinsip keuangan Islam. Meskipun ada perdebatan mengenai status Bitcoin dalam hukum Islam, beberapa cendekiawan lebih cenderung menolaknya sebagai alat pembayaran zakat karena karakteristiknya yang tidak sejalan dengan sifat harta zakat yang harus jelas, stabil, dan bebas dari ketidakpastian.Â
Aturan hukumÂ
terkait kasus tersebut sebagai berikut :
 1. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
- Fatwa MUI No. 13 Tahun 2011 tentang Hukum Zakat atas Harta Haram:
- Dalam fatwa ini, MUI menegaskan bahwa harta yang berasal dari kegiatan atau objek yang haram tidak dapat dijadikan objek zakat. Ini termasuk harta yang diperoleh melalui cara yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, seperti riba, spekulasi, dan aktivitas yang mengandung unsur gharar.
- Fatwa ini mendukung pandangan bahwa jika Bitcoin atau mata uang kripto lainnya dianggap haram atau tidak sesuai dengan prinsip syariah, maka tidak sah untuk dijadikan alat pembayaran zakat.
2. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
- Fatwa DSN No. 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Hukum Transaksi Cryptocurrency:
- Fatwa ini menyatakan bahwa transaksi cryptocurrency mengandung unsur spekulasi (maysir) dan ketidakpastian (gharar), yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
- Oleh karena itu, penggunaan cryptocurrency, termasuk Bitcoin, dalam konteks transaksi yang bersifat investasi dan pembayaran zakat tidak dibenarkan.
3. Undang-Undang di Indonesia
- Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK):
- UU ini mengatur tentang pengawasan dan pengaturan sektor keuangan di Indonesia, termasuk perdagangan mata uang kripto. Meskipun undang-undang ini tidak secara spesifik menyebutkan Bitcoin sebagai alat pembayaran zakat, namun menjelaskan bagaimana cryptocurrency diatur di Indonesia.
- Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat:
- UU ini mengatur tentang pengelolaan zakat di Indonesia, termasuk hak dan kewajiban lembaga zakat dan wajib zakat. Undang-undang ini menekankan pentingnya zakat dikelola sesuai syariah dan tidak mencakup harta yang tidak sah atau haram.