Muhammad Faisal Saputra
222111141
HES 5D
Di era teknologi modern, pembayaran zakat semakin berkembang. Misalnya, Masjid Shackwell Lane di Hackney, London, Inggris, menerima pembayaran zakat dalam bentuk alternatif selain uang tunai, seperti mata uang kripto seperti Bitcoin. Seorang penasihat agama di masjid, Zayd al-Khair, menyatakan bahwa para cendekiawan Islam telah berbicara tentang apakah penggunaan mata uang kripto dianggap halal atau haram dalam hukum Islam.
 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penggunaan bitcoin sebagai alat pembayaran zakat yang sah dan sesuai dengan hukum Islam dalam arti bahwa bitcoin tidak memenuhi persyaratan hukum Islam. Penelitian ini dilakukan dengan cara yuridis normatif.Â
Karena Bitcoin mengandung unsur gharar dan tidak dapat digunakan sebagai pembayaran zakat. Ini diperkuat dengan Fatwa MUI No 13 Tahun 2011 tentang Hukum Zakat atas Harta Haram yang menegaskan bahwa harta haram tidak bisa menjadi objek wajib zakat.Kemajuan teknologi memiliki dampak besar pada semua aspek kehidupan, termasuk sistem pembayaran. Bagaimana perekonomian berkembang, sistem pembayaran juga berubah. Selain itu, uang telah berkembang dari sistem pembayaran yang menggunakan logam berharga seperti emas dan perak hingga berubah menjadi aset kertas seperti cek dan uang kertas.Â
Perkembangan sistem pembayaran berbasis teknologi telah mengubah struktur sistem pembayaran konvensional yang menggunakan uang fisik sebagai alat pembayaran secara signifikan. Meskipun uang fisik masih banyak digunakan sebagai alat pembayaran di seluruh dunia, pembayaran tunai secara bertahap beralih ke pembayaran nontunai karena perkembangan sistem pembayaran yang lebih cepat.Â
Kaidah Hukum
Dalam pandangan hukum ekonomi syariah, penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran zakat menghadirkan beberapa isu terkait prinsip-prinsip syariah. Untuk mengembangkan kaidah hukumnya, kita dapat merujuk pada beberapa prinsip utama dalam hukum Islam serta fatwa yang relevan. Berikut adalah kaidah hukum yang bisa digunakan:
- Prinsip Maqashid al-Shariah: Zakat bertujuan untuk menjaga kesejahteraan umat dan membersihkan harta yang diperoleh secara sah menurut syariah. Oleh karena itu, harta yang digunakan untuk zakat harus terbebas dari unsur-unsur yang dilarang oleh syariah, seperti riba, gharar, dan maysir (perjudian).
Kriteria Harta yang Sah untuk Zakat: Menurut fiqh zakat, harta yang dapat dizakatkan harus memiliki nilai tetap, stabil, dan jelas (qinyah al-mal). Bitcoin dan mata uang kripto lainnya dianggap memiliki volatilitas tinggi dan mengandung unsur spekulatif (gharar), yang dapat merugikan nilai zakat yang disalurkan.
Fatwa MUI No. 13 Tahun 2011: Fatwa ini menegaskan bahwa harta yang diperoleh secara haram tidak dapat menjadi objek zakat. Jika Bitcoin dianggap memiliki elemen yang tidak sesuai dengan syariah (misalnya, terkait gharar atau spekulasi), maka penggunaannya sebagai alat pembayaran zakat tidak sah menurut hukum Islam.
Hukum Gharar dalam Transaksi: Gharar adalah ketidakpastian yang tinggi dalam transaksi yang dilarang dalam Islam. Bitcoin, yang nilainya sangat fluktuatif dan tidak didukung oleh otoritas sentral, dianggap mengandung gharar. Oleh karena itu, Bitcoin tidak memenuhi syarat sebagai alat pembayaran zakat yang sah.
Norma hukum
 yang berkaitan dengan penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran zakat dalam perspektif Hukum Ekonomi Syariah dapat disusun berdasarkan beberapa prinsip dasar dalam hukum Islam, seperti larangan terhadap unsur gharar (ketidakpastian), maysir (perjudian), dan riba (bunga), serta ketentuan tentang sifat dan karakteristik harta yang dapat dikenakan zakat. Berikut adalah norma hukum terkait penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran zakat:
1. Syarat Sah Harta untuk Zakat:
Dalam hukum Islam, harta yang dapat dizakatkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:
- Milik penuh: Harta harus sepenuhnya dimiliki oleh pemilik tanpa adanya klaim atau hak dari pihak lain.
- Berkembang: Harta yang wajib zakat adalah harta yang memiliki potensi untuk berkembang atau bertambah.
- Mencapai nishab: Harta harus mencapai batas minimal tertentu (nishab) yang ditentukan oleh syariah.
- Terbebas dari riba dan gharar: Harta yang terkena unsur riba atau ketidakpastian (gharar) tidak dapat dijadikan objek zakat.
Sebagian ulama menganggap Bitcoin sebagai instrumen yang spekulatif dan tidak stabil, yang membuatnya kurang sesuai dengan prinsip keuangan Islam. Meskipun ada perdebatan mengenai status Bitcoin dalam hukum Islam, beberapa cendekiawan lebih cenderung menolaknya sebagai alat pembayaran zakat karena karakteristiknya yang tidak sejalan dengan sifat harta zakat yang harus jelas, stabil, dan bebas dari ketidakpastian.Â
Aturan hukumÂ
terkait kasus tersebut sebagai berikut :
 1. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
- Fatwa MUI No. 13 Tahun 2011 tentang Hukum Zakat atas Harta Haram:
- Dalam fatwa ini, MUI menegaskan bahwa harta yang berasal dari kegiatan atau objek yang haram tidak dapat dijadikan objek zakat. Ini termasuk harta yang diperoleh melalui cara yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, seperti riba, spekulasi, dan aktivitas yang mengandung unsur gharar.
- Fatwa ini mendukung pandangan bahwa jika Bitcoin atau mata uang kripto lainnya dianggap haram atau tidak sesuai dengan prinsip syariah, maka tidak sah untuk dijadikan alat pembayaran zakat.
2. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
- Fatwa DSN No. 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Hukum Transaksi Cryptocurrency:
- Fatwa ini menyatakan bahwa transaksi cryptocurrency mengandung unsur spekulasi (maysir) dan ketidakpastian (gharar), yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
- Oleh karena itu, penggunaan cryptocurrency, termasuk Bitcoin, dalam konteks transaksi yang bersifat investasi dan pembayaran zakat tidak dibenarkan.
3. Undang-Undang di Indonesia
- Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK):
- UU ini mengatur tentang pengawasan dan pengaturan sektor keuangan di Indonesia, termasuk perdagangan mata uang kripto. Meskipun undang-undang ini tidak secara spesifik menyebutkan Bitcoin sebagai alat pembayaran zakat, namun menjelaskan bagaimana cryptocurrency diatur di Indonesia.
- Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat:
- UU ini mengatur tentang pengelolaan zakat di Indonesia, termasuk hak dan kewajiban lembaga zakat dan wajib zakat. Undang-undang ini menekankan pentingnya zakat dikelola sesuai syariah dan tidak mencakup harta yang tidak sah atau haram.
- analisis prespektif positivisme hukum dan sociologi jurisprudence terkait kasus tersebut
Analisis perspektif positivisme : hukum terhadap penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran zakat menunjukkan bahwa hukum harus dipahami sebagai sistem norma yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang.Â
Dalam konteks ini, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan undang-undang yang mengatur zakat di Indonesia memberikan panduan hukum yang jelas, menegaskan bahwa Bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran zakat karena mengandung unsur gharar dan bertentangan dengan prinsip syariah.Â
Dalam perspektif positivisme hukum, penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran zakat tidak dapat diterima karena bertentangan dengan norma hukum yang berlaku, dan kepastian hukum harus dijaga agar masyarakat tidak bingung mengenai syarat-syarat pembayaran zakat.
perspektif sosiologi jurisprudensi : menyoroti hubungan antara hukum dan masyarakat serta bagaimana norma-norma hukum dipengaruhi oleh konteks sosial. Penggunaan Bitcoin mencerminkan fenomena sosial baru yang muncul seiring perkembangan teknologi digital, dengan masyarakat menginginkan cara pembayaran zakat yang lebih efisien.Â
Meskipun demikian, nilai-nilai dan prinsip syariah harus tetap dijunjung tinggi dalam praktik zakat. Ketidakpuasan masyarakat terhadap pembayaran zakat yang tidak sesuai dengan prinsip syariah dapat menyebabkan ketidakpercayaan terhadap lembaga zakat.Â
Sosiologi jurisprudensi juga menggarisbawahi perlunya adaptasi hukum terhadap perubahan sosial; meskipun saat ini Bitcoin dianggap tidak sah, perubahan sikap masyarakat terhadap mata uang kripto dapat mempengaruhi pandangan ulama dan lembaga hukum di masa depan.
meskipun hukum menetapkan bahwa Bitcoin tidak sah sebagai alat pembayaran zakat, penting untuk mempertimbangkan konteks sosial yang berkembang, di mana inovasi dalam pembayaran zakat perlu diimbangi dengan pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip syariah dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Kesimpulan
Kesimpulan terkait penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran zakat menunjukkan bahwa meskipun inovasi teknologi memberikan alternatif dalam metode pembayaran, secara hukum Islam dan berdasarkan prinsip Hukum Ekonomi Syariah, Bitcoin tidak dapat diterima sebagai alat pembayaran zakat. Hal ini sejalan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 13 Tahun 2011, yang menegaskan bahwa harta yang mengandung unsur gharar dan berasal dari sumber yang tidak halal tidak bisa dijadikan objek zakat.Â
Dalam konteks positivisme hukum, penggunaan Bitcoin bertentangan dengan norma-norma hukum yang telah ditetapkan, sehingga pembayaran zakat dalam bentuk tersebut tidak memenuhi syarat keabsahan.Â
Di sisi lain, perspektif sosiologi jurisprudensi menyoroti pentingnya memahami konteks sosial di mana masyarakat semakin terbiasa dengan transaksi digital, namun tetap menekankan perlunya menjaga nilai-nilai syariah dalam praktik zakat. Dengan demikian, walaupun masyarakat menunjukkan minat terhadap pembayaran zakat menggunakan mata uang kripto, prinsip syariah dan ketentuan hukum harus tetap diutamakan untuk menjaga keabsahan dan kepercayaan dalam pelaksanaan zakat.Â
Oleh karena itu, penting bagi lembaga zakat dan otoritas agama untuk memberikan edukasi yang memadai kepada masyarakat mengenai syarat-syarat zakat yang sesuai dengan hukum Islam, serta memastikan bahwa semua bentuk pembayaran zakat tetap memenuhi ketentuan yang berlaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H