Saya heran dibuatnya. Meski begitu, saya tetap menghargainya. Kali ini saya segan membagikan kedukaan saya kepadanya. Terlalu menyedihkan. Namun saya berpikir, apa lagi yang saya punya untuk saya beri.
“Bagini saja”, ia melanjutkan, “saya tidak ingin Anda memberikan kehidupan Anda secara cuma-cuma, maksud saya, bagaimana jika kita bertukar kehidupan. Bukankah Anda juga penasaran dengan kehidupan bahagia saya?
“Maksud Anda saya menjadi Anda, dan Anda menjadi saya?”
“Tepat sekali. Namun tentu saja bukan tubuh kita.”
“Bagaimana caranya?”
“Selesaikan kehidupan Anda hingga penuh.”
“Kematian?”
“Ya, kematian. Dengan begitu Anda bisa mempersiapkan wasiat kepada orang-orang terdekat Anda bahwa kehidupan Anda, Anda berikan kepada saya. Hanya dengan persetujuan keluarga Anda, rencana besar ini bisa terlaksana.”
“Baiklah, nona. Terimakasih telah bersedia memberi kesampatan untuk saya hidup dengan bahagia.”
“Tidak perlu, Tuan. Seharusnya saya yang berterimakasih kepada Anda yang telah bersedia bertukar kehidupan.”
***