“Lantas?”
“Lantas.”, saya mengulangi, “bagaimana bisa penanggung duka bisa disamakan dengan orang seperti Anda.”
Selanjutnya saya menceritakan bagaimana dunia yang kami tempati begitu membosankan bagi saya. Perempuan itu mendengarkan sembari manggut-manggut. Sesekali mengerutkan dahi. Menatap saya dengan tatapan tajam, serius. Perempuan itu melihat dunia melalui mata saya untuk sesaat. Ia sepertinya menikmati. Terkejut bukan main.
Saya katakan kepadanya bahwa saat ini lagi musim pengabadian gelak tawa. Begitu banyak orang bahagia. Mereka beramai-ramai menuju suatu tempat yang indah dan cukup mahal. Mereka sungguh dermawan. Selalu membagikan kebahagiaannya setiap saat melalui sosial media. Saya makin ciut nyali untuk bernapas. Saya tidak mampu untuk hidup. Saya bosan mengetahui segalanya tentang mereka yang berbagi suka cita. Semakin mereka berbagi foto-foto atau video bahagia, yang dihiasi senyum dan tawa lepas, yang muncul di social media, semakin berat duka yang saya pikul. Saya seperti orang berkabung setiap hari.
Sejujurnya saya tidak pernah merasa bahagia. Jika saya memaksakan diri untuk tertawa, kemudian diabadikan di dunia maya, saya akan sakit saat itu juga. Tubuh saya setiap hari membutuhkan asupan kejujuran yang tidak sedikit. Saya selalu berpikir bahwa asupan kejujuran juga dibutuhkan orang lain. Untuk itu sebaiknya saya diam.
Maka dari itu, saya berani katakan bahwa mereka tertawa dan bahagia dengan sebenarnya. Dan kalaupun ada yang sedih, seperti saya, juga pasti sedang mengalami duka yang sebenarnya.
“Anda tahu apa yang saya pikirkan?” Tanya perempuan itu.
“Anda berpikir bahwa saya pembual, oh, mungkin saya lebih pantas diam.”
“Oh, tidak. Saya tidak pernah berpikir seperti itu. Malah saya penasaran dan ingin menjadi diri Anda saat ini.”
“Mengapa demikian?”
“Kenaifan Anda membuat saya iri,” katanya, “jika saya bisa menjadi Anda, saya yakin, saya akan menjadi manusia yang jujur terhadap diri saya sendiri. Tak peduli betapa bodoh saya jadinya.”