010
Beberapa bulan lagi saya pulang. Sudah rindu isteri. Apalagi, akhir-akhir ini kami jarang komunikasi. Entah mengapa, malas saja rasanya. Tapi begitu tugas saya di sini hampir berakhir, kerinduan itu muncul tiba-tiba. Saya membayangkan, isteri saya sekarang tambah cantik, lebih matang. Ya, saya ingin memeluknya erat.
Aku
Cinta kami tak terbantahkan. Dalam konteks ini, terkadang aku tidak percaya bahwa jodoh pasti tepat sasaran. Kupikir, jodoh adalah ketika cinta sejati seperti yang kumiliki bertemu. Meskipun tanpa upacara pernikahan.
Sialnya, apa yang saya pahami terbantahkan juga. Alih-alih aku bahagia, aku sekarat ketika mendengar keparat itu mau tiba. Pasti Diana akan kembali kepadanya. Bukan hanya tubuhnya yang aduhai, melainkan juga hati dan jiwanya. Lalu aku, lenyap begitu saja.
Diam-diam aku pergi. Dan tak akan kembali. Daripada makan hati. Mati berkali-kali.
Diana
Jika kau bertanya bagaimana kabar saya hari ini, dengan maksud bahwa apakah saya riang dan bahagia menunggu kedatangan suami pulang dari tugas, maka saya jawab, tidak!
Sejujurnya hatiku sudah terenggut oleh kekasihku. Yaitu dia yang seharusnya tak kutinggalkan demi dirinya.
Sementara kini, beberapa hari lagi, suamiku pulang. Saya tidak tahu harus bagaimana. Terhimpit dalam puing-puing tajam tak berbelas kasihan. Saya tak pernah menyangka cinta sesakit ini. Film-film dan novel-novel tentang kerinduan seorang isteri menanti suaminya pulang perang hanyalah bulshit belaka. Setidaknya begitu yang kurasakan.
Bahkan, ketika mereka berhiperbola seperti “o Tuhan, betapa penantian adalah musibah para perindu stadium akhir” saya kira tak lebih dari dusta yang dibenar-benarkan.