Setiap detik saya tak habis-habisnya merinduinya. Seorang yang telah berhasil merebut hatiku yang sudah kujanjikan pada kekasihku dulu.
Memang, selain harapan orang tua, menjadi isteri seorang berpangkat adalah keinginan hati kecilku. Betapa bahagiannya saya memilikinya. Tak peduli betapa sakitnya ia yang kutinggalkan. Sudah menjadi wajar dan lumrah di mana ada kebahagiaan harus ada yang dikorbankan. Ya menyakitinya, ya menerima sumpah serapahnya. Saya memang pantas mendapatkannya.
Namun, yang harus saya khawatirkan untuk ke depannya, adalah merelakan suami saya pergi menjalankan tugas di luar pulau. Saya sendiri, di rumah seperti saat ini, sudah saya pikir sebelumnya. Resiko menjadi isterinya. Hatta, terjadi juga kecemasan itu. Belum lagi, bicara kesetiaan, saya tidak yakin bahwa kesetiaan sejujur kesan saat kami berpisah dengan lambat. Antara dermaga dan samudra, waktu itu.
Aku
Jika kau menyangkal bahwa sakit hati tidak sesakit sakit gigi, maka aku rela sakit gigi seumur hidup daripada menanggung luka sedemikian dalam. Tanpa bisa dioprasi. Tanpa bisa diapa-apakan lagi.
Luka adalah luka, biarpun senyummu menutupi. Namun kenyataannya, dengan senyum aku bisa menghibur diri. Bahkan, hingga menjadi bahan olok-olok anak kecil di gang-gang kampung. “Orang gila, orang gila, orang gila....” hingga mereka lelah.
Siapa sangka, melalui senyuman, aku bisa merubah benci menjadi pura-pura benci atau pura-pura cinta. Saya mengidap dendam kesumat, atau bisa kau bahasakan cinta kesumat.
Pada siapa lagi kalau bukan Diana. Perempuan sialan yang selalu kucintai. Sampai kini. “Ini bukan pura-pura,” sanggahku pada diri sendiri.
Untuk kali ini perasaanku tidak sepihak, sebagaimana ia memilih laki-laki keparat itu dan meludahiku begitu saja. Aku menduga ia telah menyesal sedemikian rupa sampai akhirnya ia mengirim pesan singkat kepadaku, “aku kangen kamu, mas.”
Duh Gusti, betapa senyumku kepada alam membuahkan hasil. Biarpun diiringi tangisan sesal dan sakit yang mendalam. Ia ternyata masih merindukanku.
“Begitu juga denganku, dek”, singkat saja.Untuk selanjutnya, kami tidak lagi berbalas pesan singkat, tapi bertukar suara, menuju ke sentuhan, menuju pelukan, dan menuju cakrawala cinta.