350 tahun dijajah bukan waktu yang singkat jika dilihat dari sudut pandang bangsa Indonesia.
Dalam kurun tiga setengah abad lebih itu, meski pada akhirnya lepas dan merdeka, membuat bangsa Indonesia memiliki ingatan sedih yang bisa saja hadir setiap waktu.
Ingatan sedih tersebut sepantasnya menjadi latar belakang bangsa yang kuat dan memiliki tingkat percaya diri di atas rata-rata, tetapi tidak alay dan lebay.
Akan lebih masuk akal jika ingatan masa suram dulu menjadi pelajaran berharga. Pondasi-pondasi bangsa Indonesia tidak perlu diragukan lagi.
Pada sisi paling bahagia dari kesedihan penjajahan masa lalu, kita perlu berterimakasih terhadap para kolonial. Mengapa?
Kolonial telah meng-“Ospek” kita begitu lama. Gratis. Saya menilai kita telah lulus dari cobaan yang menyedihkan. Jika tidak, mana mungkin Merah Putih berkibar dengan gagahnya. Dan kedaulatan sudah di genggaman.
Hari ini, kita adalah keturunan bangsa pejuang yang bukan pengecut dan bukan penjilat. Seharusnya!
Rumput Tetangga Lebih Hijau?
Tidak selamanya rumput tetangga lebih hijau daripada rumput di pekarangan kita. Yang menarik, seringkali kita tidak menyadari bahwa hijau dan rumput itu tidak pernah benar-benar bersatu.
Rumput adalah sebuah materi. Sedangkan hijau adalah sifatnya. Jika yang kita iri adalah: rumput kita tidak lebih hijau dari rumput tetangga, maka itu salah.
Rumput bisa berubah. Atau kesadaran yang berubah. Hari ini rumput kita begitu lusuh, kuning, dan layu, seiring waktu peracayalah ia akan tampak segar dan hijau, tinggal bagaimana merawatnya.
Artinya, jika kita iri gara-gara hijaunya, yaitu sifat yang dianggap menempel di rumput mereka. Maka saya katakan, hijau adalah keabadian yang dari dulu sampai kapan pun tidak pernah berubah. Sehingga, iri pada sesuatu yang konyol dan tidak mungkin dirubah adalah kena’ifan.
Fenomena tersebut merembet ke gaya hidup. Di kalangan muda-mudi, mulai dari fashion, food, dan sebagainya.
Di dalam konteks makanan, misalnya, yang dilihat bukan makanannya, melainkan sifat-sifat atau karakteristik makanannya.
Sifat makanan dari luar negeri atau yang menyerupainya, dianggap memiliki nilai: instan atau tidak rumit, elitis, mahal, higinis, dan bertempat di restoran-restoran mewah dan gaya.
Jika kita terus berpola pikir bahwa yang memiliki nilai hanyalah makanan asing, gantung saya di monas apabila makanan lokal bisa move on. Sekali lagi bukan hanya makanan.
Konsumsi Anggapan
Mengapa sebelum makan, trend-nya, difoto dan di-upload dulu ke sosial media? Sejatinya makanan untuk kebutuhan apa?
Semua yang dibeli kenyataannya adalah palsu. Yaitu sifat-sifat barang yang hingga kapan pun tak akan pernah bisa ditaklukan. Dan, mengapa fenomena ini tumbuh subur?
Pertama, kebanggaan kita mengetahui sesuatu yang baru. Apalagi salah satu dari kita lebih pertama tahu dari lainnya tentang spek gadget terbaru, misalnya. Kedua, rasa terheran-heran dan nafsu untuk berkicau tentang hal baru. Ketiga, rasa penasaran dan takut kurang update. Keempat, berniat sombong jika bisa melampaui poin-poin sebelumnya.
Jebakan-jebakan seperti itu entheng saja bagi kita untuk mengonsumsinya. Padahal, jika kita perhatikan, itu adalah cara bagaimana asing mengalihkan perhatian kita terhadap apa yang kita miliki.
Lihat. Semua poin-poin di atas yang ingin dicapai adalah sesuatu yang abstrak dan tidak nyata. Tidak berbentuk, dan tidak pernah benar-benar bisa disentuh.
Kita memiliki segalanya. Namun, kita tidak merasa memiliki segalanya di Indonesia. Sebab, yang segalanya itu adalah sifat-sifat dari materi bagi kita, jika melihat fenomena saat ini.
Akibatnya, kita cukup saja membanggakan bahwa freeport ada di Indonesia, bahwa keindahan-keindahan bahari ada di Indonesia.
Padahal, realitanya, kita tidak pernah memilikinya. Menyentuhnya pun hanya orang-orang tertentu.
Lalu memiliki itu harusnya bagaimana?
Anda tentu pernah mendengar istilah bertepuk sebelah tangan, bukan? Ya, kasus tersebut lumrahnya di dunia percintaan.
Nyatanya, bertepuk sebelah tangan berhubungan dengan segala sesuatu yang memiliki konteks “milik”.
Memiliki tidaklah kesadaran bahwa ini punyaku dan ini punyamu, tetapi harmonisasi antara pemilik dan yang dimiliki. Sebagaimana kesadaran kita bahwa kita adalah makhluk Tuhan. Dan Tuhan menyatakan bahwa kita adalah makhlukNya.
Begitupun dengan benda-benda, yang kita miliki: benda-benda tersebut secara nyata tercipta untuk kita beserta manfaat yang dikandungnya, dibuktikan oleh kedaulatan ikatan secara hukum (nota pembelian, misalnya) maupun emosional.
Percaya Diri
Rasa percaya diri merupakan unsur penting bagi berlangsungnya eksistensi bangsa. Percaya diri menimbulkan hadirnya potensi-potensi yang tak terduga.
Jika bangsa Indonesia kesulitan menilai dirinya sendiri, tidak bisa move on dari lirik negara sana-sini yang seolah-olah saja lebih mapan, percayalah, bahwa Tuhan lebih adil dari siapa pun.
Selanjutnya, yang perlu dibangun, hemat saya, adalah hanya rasa percaya diri bangsa dalam konteks dunia internasional.
Beri ruang untuk Tuhan mengurus negeri ini. Pecayalah bahwa kita bertugas untuk menjadi khalifahnya yang bagaimanapun membutuhkanNya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H