Rumput bisa berubah. Atau kesadaran yang berubah. Hari ini rumput kita begitu lusuh, kuning, dan layu, seiring waktu peracayalah ia akan tampak segar dan hijau, tinggal bagaimana merawatnya.
Artinya, jika kita iri gara-gara hijaunya, yaitu sifat yang dianggap menempel di rumput mereka. Maka saya katakan, hijau adalah keabadian yang dari dulu sampai kapan pun tidak pernah berubah. Sehingga, iri pada sesuatu yang konyol dan tidak mungkin dirubah adalah kena’ifan.
Fenomena tersebut merembet ke gaya hidup. Di kalangan muda-mudi, mulai dari fashion, food, dan sebagainya.
Di dalam konteks makanan, misalnya, yang dilihat bukan makanannya, melainkan sifat-sifat atau karakteristik makanannya.
Sifat makanan dari luar negeri atau yang menyerupainya, dianggap memiliki nilai: instan atau tidak rumit, elitis, mahal, higinis, dan bertempat di restoran-restoran mewah dan gaya.
Jika kita terus berpola pikir bahwa yang memiliki nilai hanyalah makanan asing, gantung saya di monas apabila makanan lokal bisa move on. Sekali lagi bukan hanya makanan.
Â
Konsumsi Anggapan
Mengapa sebelum makan, trend-nya, difoto dan di-upload dulu ke sosial media? Sejatinya makanan untuk kebutuhan apa?
Semua yang dibeli kenyataannya adalah palsu. Yaitu sifat-sifat barang yang hingga kapan pun tak akan pernah bisa ditaklukan. Dan, mengapa fenomena ini tumbuh subur?
Pertama, kebanggaan kita mengetahui sesuatu yang baru. Apalagi  salah satu dari kita lebih pertama tahu dari lainnya tentang spek gadget terbaru, misalnya. Kedua, rasa terheran-heran dan nafsu untuk berkicau tentang hal baru. Ketiga, rasa penasaran dan takut kurang update. Keempat, berniat sombong jika bisa melampaui poin-poin sebelumnya.