Mohon tunggu...
Fais Yonas Boa
Fais Yonas Boa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Aksara, Kopi dan kepolosan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Fenomena Tolak Pembangunan Negara; Ada Apa?

27 Desember 2024   08:17 Diperbarui: 27 Desember 2024   08:17 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.widyamataram.go.id

Penolakan terhadap pembangunan negara kini semakin masif dan intens. Rasa-rasanya sudah terjadi yang namanya fenomena tolak pembangunan negara. Padahal pemerintah semakin gencar memaksimalkan segala kekuatan yang dimiliki untuk memajukan negara dengan pembangunan-pembangunan yang sifatnya berkelanjutan. Kenyataan ini menjadi semacam ironi bernegara yang mana satu sisi negara hendak mengentas ketertinggalan tapi di lain sisi segelintir kelompok warga negara berupaya keras melanggengkan ketertinggalan dan kemiskinan.

Pertanyaannya sekarang ialah mengapa fenomena ini terjadi di Indonesia? Atau mungkinkah negara ini dikutuk untuk tidak dapat membangun dan menjadi maju dan sejahtera? Atau jangan-jangan idea kesejahteraan sosial dalam Pancasila dan UUD 1945 memang sekadar untuk jargon belaka? Mari kita coba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan beberapa bagian pembahasan berikut.

Kelalaian Negara

Tidak boleh dinafikan bahwa aksi-aksi tolak pembangunan negara merupakan buah dari kelalaian negara. Mengapa dikatakan demikian? Karena negara memang tidak pernah serius mengurusi kepentingan rakyatnya. Rasanya tidak perlu data dan angka untuk mengatakan negara lalai. Lihat saja penegakan hukum negara kita yang tidak pernah serius dilakukan. Para penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) banyak sekali terlibat kasus hukum. Bahkan, banyak sekali oknum penegak hukum yang menjadi mafia hukum.

Lihat pula peradaban pendidikan kita yang hingga kini masih merangkak. Dunia pendidikan tidak jarang dipolitisir dan diperdagangkan. Amanat konstitusi 20% APBN untuk pendidikan tidak pernah dilaksanakan. Lebih buruknya lagi birokrasi pendidikan ditentukan oleh kepentingan politik. Guru-guru yang menjadi suluh peradaban bangsa kerap dijadikan komoditas politik. Tidak heran kenaikan gaji hanya terjadi demi kepentingan politik kekuasaan. Belum lagi setiap ganti menteri ganti pula kurikulum pendidikan yang pastinya menyusahkan guru.

Begitu pula perekonomian rakyat yang bukannya semakin sejahtera seiring kemajuan zaman tetapi tetap merangkak. Ini disebabkan oleh kebijakan ekonomi negara yang cenderung diprioritaskan untuk jejaring pengusaha kakap yang terafiliasi kekuasaan. Pasal 33 UUD 1945 terkait kesejahteraan rakyat tidak pernah diupayakan serius. Lebih buruknya program-program bantuan langsung dan tunai semakin gencar dilakukan meskipun dengan meningkatkan utang negara. Sebenarnya bantuan-bantuan untuk rakyat itu baik, tetapi di lain sisi sangat memanjakan masyarakat sekaligus memelihara mentalitas oportunis masyarakat.

Di dunia kesehatan lebih parah lagi. Tenaga kesehatan negara kita sangatlah banyak. Bahkan kelebihan. Akan tetapi lapangan kerja untuk mereka masih sangat minim. Akibatnya daerah-daerah menjadi terbebani untuk membiayai gaji para tenaga kesehatan kontrak daerah yang dikenal dengan istilah THL (tenaga harian lepas). Nasib para pekerja kontrak seperti ini terbilang tragis. Keberadaan mereka sangat ditentukan kepentingan politik kepala daerah. Kalau berlawanan politik maka putus kontrak resikonya.

Beberapa persoalan di atas sudah barang tentu menjadi bukti paling nyata kelalaian negara dalam menyelenggarakan negara dan pemerintahan. Bentuk-bentuk kelalaian negara pada berbagai sektor kehidupan bernegara lambat laun menjadi memori buruk bagi masyarakat Indonesia. Memori buruk tersebut kemudian terpelihara karena minimnya tanda-tanda kehendak baik pemerintah dalam mengentas persoalan-persoalan yang terjadi. Kelalaian-kelalaian negara pada akhirnya terakumulasi pada memori masyarakat. Akibatnya ketika negara gencar melakukan pembangunan maka gejolak penolakan terhadap pembangunan negara semakin menjadi-jadi.

Sumber Daya Masyarakat

Kelalaian negara yang terakumulasi dan menggerogoti memori publik pada dasarnya tidak menjadi faktor tunggal dalam fenomena tolak pembangunan negara. Faktor yang tidak dapat disepelekan ialah SDM (Sumber Daya Manusia) Indonesia yang memang hingga kini masih begitu banyak yang dipasung keterbelakangan SDM. Masalah ini tentu saja tidak terlepas dari kelalaian negara dalam membangun peradaban SDM Indonesia dalam dunia pendidikan. Sebagaimana telah diterangkan bahwa ketentuan alokasi 20% APBN untuk pendidikan tidak pernah diterapkan sehingga pendidikan hanya diakses oleh kalangan-kalangan mampu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun