Transisi energi merupakan pengalihan penggunaan energi dari yang berbahan fosil dan tidak ramah lingkungan menuju energi bersih yang bersifat terbarukan dan ramah lingkungan. Pengalihan energi merupakan kesepakatan bersama dunia internasional dalam menjaga bumi yang memang sedang dilanda perubahan iklim ekstrem dalam 20-30 terakhir.
Sebagai salah satu negara penentu iklim bumi, Indonesia tentu ikut berperan aktif dalam menjaga iklim bumi. Dengan memiliki kekayaan sumber daya energi hijau yang melimpah, Indonesia bertekad untuk melakukan transisi energi dengan memanfaatkan energi-energi terbarukan (matahari, air, panas bumi, angin dan lainnya) yang terkandung dalam bumi Indonesia.
Pemanfaatan energi bersih sejatinya tidak semata soal menanggulangi perubahan iklim, tetapi juga untuk menunjang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Itulah alasan paling logis transisi energi sebagai keharusan bagi negara Indonesia. Maka dari itu, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk mengupayakan proyek-proyek energi bersih. Masyarakat dikehendaki mendukung penuh itikad pemerintah tersebut sekaligus menopang gagasan swasembada energi Presiden Prabowo Subianto.
Kesepakatan BersamaÂ
Pada 12 Desember 2015 para pemimpin dunia mengadakan Konferensi Perubahan Iklim (COP21) PBB di Paris. Konferensi tersebut dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim dan dampak negatifnya terhadap bumi dan manusia. Pertemuan internasional ini kemudian melahirkan sebuah kesepakatan yang kita kenal dengan sebutan Konvensi Paris (Paris Agreement). Adapun 3 tujuan pokok dari konvensi iklim yang telah didukung 195 negara tersebut:
- mengurangi emisi gas rumah kaca global secara signifikan untuk menahan kenaikan suhu global jauh di bawah 2C di atas tingkat pra-industri dan melakukan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5C di atas tingkat pra-industri, dengan menyadari bahwa hal ini akan mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim secara signifikan
- menilai secara berkala kemajuan kolektif dalam mencapai tujuan perjanjian ini dan tujuan jangka panjangnya
- menyediakan pembiayaan kepada negara-negara berkembang untuk mengurangi perubahan iklim, memperkuat ketahanan, dan meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap dampak iklim.
Penting untuk diketahui bahwa perjanjian ini merupakan perjanjian internasional yang mengikat secara hukum. Perjanjian ini mulai berlaku pada tanggal 4 November 2016. Indonesia kemudian menandatangani perjanjian iklim ini pada 22 April 2016 melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Siti Nurbaya yang notabene mewakili Presiden Joko Widodo  di New York, Amerika Serikat. Pada upacara penandatanganan itu, Indonesia bertindak sebagai Co-Chair sesi terakhir penyampaian national statement.
Perjanjian Paris merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2020-2030. Ini artinya dalam periode 10 tahun (2020-2030) proyek-proyek transisi energi dengan memanfaatkan energi-energi terbarukan (EBT) wajib dilaksanakan oleh negara-negara yang telah menandatangani perjanjian.
Sejalan dengan Konvensi Paris, hasil kesepakatan Presidensi G20 yang dilaksanakan di Bali pada 2022 juga mendukung penuh pemanfaatan EBT. Sesuai dengan kesepakatan dalam forum tersebut bahwa penggunaan energi-energi terbarukan alias energi hijau hendaknya segera diupayakan demi menjaga iklim bumi. Dengan demikian, sumber energi hijau seperti air, matahari, panas bumi, angin dan lainnya; harus dimanfaatkan secara maksimal.
Komitmen dan Ambisi Indonesia
Sebagai salah satu negara penentu iklim bumi, Indonesia tentu ikut berperan aktif dalam menjaga iklim bumi. Dengan memiliki kekayaan sumber daya energi hijau yang melimpah, Indonesia bertekad untuk melakukan transisi energi dengan memanfaatkan EBT yang terkandung dalam bumi Indonesia. Sebagai negara yang terberikan kekayaan sumber daya alam terutama kekayaan energi hijau melimpah, sudah selayaknya Indonesia memanfaatkan dengan baik dan maksimal kekayaan tersebut.
Komitmen dan ambisi Indonesia dalam memanfaatkan EBT kemudian dipertegas oleh Presiden Prabowo Subianto dalam pidato perdananya sebagai Presiden ke 8 Republik Indonesia (20/10/24). Prabowo selaku pucuk pimpinan pemerintahan telah mendengungkan dengan penuh semangat nasionalisme terkait swasembada atau kemandirian energi nasional. Bahwasannya Indonesia ke depannya wajib mengupayakan diri untuk keluar dari ketergantungan energi.
Presiden Prabowo menegaskan bahwa Indonesia harus berani memanfaatkan EBT yang terkandung pada bumi Indonesia karena dengan kemandirian energi maka pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat akan meningkat. Komitmen dan ambisi pendiri sekaligus pemimpin tertinggi Partai Gerindra tersebut kemudian diperkuat oleh Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia dalam Conference of the Parties (COP) 29, dengan tema "Enhancing Ambition on Renewable Energy" yang digelar di Baku, Azerbaijan, pada 11-24 November 2024.
Hashim Djojohadikusumo menyatakan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia berkomitmen penuh mengurangi emisi karbon lewat transisi energi. Oleh sebab itu, pemerintah berupaya menyelaraskan sumber daya dan seluruh kebijakan ke dalam strategi transisi energi yang efektif dan efisien. Pada kesempatan yang sama Hashim juga menerangkan bahwa pada dasarnya bicara transisi energi tidak saja soal penggunaan energi hijau, tetapi sekaligus mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
"Transisi energi bukan hanya tentang mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi juga tentang menyeimbangkan pertumbuhan dengan keberlanjutan lingkungan. Indonesia akan mencapai energi bersih, hijau, dan terjangkau, sambil mempercepat pertumbuhan ekonomi 8%." Bahkan, adik kandung Presiden Prabowo itu menegaskan bahwa hingga tahun 2040, Indonesia siap meningkatkan bauran EBT sebesar 75 gigawatt (GW) yang berasal dari pembangkit listrik hidro, geotermal, bioenergi, surya, dan angin.
Harta Karun Energi Bersih
Komitmen dan ambisi Indonesia di bawah rezim Prabowo dalam hal pemanfaatan energi bersih demi menunjang swasembada energi bukanlah utopia. Dikatakan demikian karena wilayah NKRI memang memiliki potensi energi bersih yang melimpah. Kementerian ESDM mencatat wilayah Indonesia memiliki potensi besar pada EBT.
Energi matahari (surya) memiliki potensi 3.295 Gigawatt dan hanya dimanfaatkan 270 MW saja. Energi air (hydro) memiliki potensi 95 GW dan baru dimanfaatkan sebesar 6.690,00 MW. Energi angin (bayu) dengan potensi sebesar 155 GW dan hanya 150 MW yang telah dimanfaatkan. Sementara itu, energi panas bumi (geothermal) memiliki potensi sebesar 24 MW yang mana baru mampu dimanfaatkan sekitar 9,8%.
Secara keseluruhan, potensi energi-energi bersih di wilayah Indonesia yang dimanfaatkan tidak sampai 1%. Perhatikan data dari Kementerian ESDM berikut:
Potensi EBT yang dikandung dalam bumi Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia memang memiliki harta karun berlimpah untuk melakukan transisi energi. Sebagai sumber energi masa depan, EBT yang terdapat pada seluruh belahan bumi Indonesia patutlah dimanfaatkan secara baik dan maksimal. Kekayaan EBT kita tidak boleh hanya akan menjadi statistik kebanggaan nasional, melainkan berguna untuk menyalurkan energi bersih sekaligus menopang swasembada energi.
Nilai Guna Pemanfaatan Energi Bersih
Cadangan melimpah EBT yang dimiliki Indonesia tentu patut disyukuri. Namun demikian, tidak boleh menafikan fakta bahwa pemanfaatannya masih sangat jauh dari harapan dan target. Berdasarkan data Dewan Energi Nasional (DEN) pada tahun 2023, persentase bauran energi tertinggi masih didominasi batu bara (40,46 persen), minyak bumi (30,18 persen), gas bumi (16,28 persen), sedangkan energi bersih (13,09 persen).
Persentase pemanfaatan EBT memang meningkat 0,79 persen pada tahun 2023. Namun realisasi tersebut masih di bawah target yang ditetapkan sebesar 17,87 persen. Pemerintah semula menargetkan bauran energi nasional sebesar 19,49 persen pada tahun 2024 dan 23 persen pada tahun 2025. Namun, kemudian direvisi menjadi 17-19 persen pada tahun 2025.
Data bauran energi di atas, dapat dipahami bahwa energi-energi bersih belum dimanfaatkan dengan baik apalagi maksimal. Energi fosil masih sangat mendominasi. Padahal Indonesia memiliki kekuatan potensial di bidang EBT. Oleh karena itu, pemanfaatan EBT sudah menjadi keharusan karena akan berdampak besar dalam berbagai aspek kehidupan negara baik secara internasional maupun nasional. Adapun beberapa manfaat utama penggunaan energi bersih bagi bangsa dan negara Indonesia.
Pertama, kepercayaan internasional. Sebagai negara yang sedang berada di pintu masuk kemajuan, Indonesia sangat butuh kepercayaan dunia internasional. Hal ini menjadi salah satu kunci utama terjalinnya kolaborasi simbiosis-mutualis dengan negara-negara mapan. Pemanfaatan energi bersih juga demikian yakni sangat ditentukan oleh kepercayaan dari negara-negara mapan yang akan mendukung pendanaan proyek-proyek EBT yang memang membutuhkan investasi besar.
Kalau kita mencermati data dari tahun ke tahun, tren investasi EBT memang selalu didapatkan. Akan tetapi, bergerak sangat fluktuatif di kisaran US$ 1,36 miliar sampai US$ 1,96 miliar. Perinciannya, realisasi EBTKE di 2017 senilai US$ 1,96 miliar, kemudian 2018 senilai US$ 1,53 miliar, 2019 senilai US$ 1,71 miliar, 2020 senilai US$ 1,36 miliar, 2021 senilai US$ 1,55 miliar, dan 2022 senilai US$ 1,55 miliar.
Sementara itu, pada tahun 2023 investasi mengalami penurunan sebesar 9,3%, mencapai US$ 1,5 miliar atau setara dengan Rp 23,3 triliun. "Kita perlu tingkatkan investasi dan tenaga kerja. Daya tariknya, kita punya energi yang kompetitif dan ramah lingkungan," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, dalam konferensi pers Capaian Sektor ESDM tahun 2023 dan Program Kerja Tahun 2024, Senin (15/01/2024).
Penurunan minat investasi EBT di Indonesia menandakan kepercayaan internasional yang terus merosot. Hal ini disebabkan oleh pemanfaatan EBT di Indonesia yang tidak baik dan maksimal. Terutama pula, hingga kini tidak ada UU khusus tentang EBT. Hanya UU tentang Panas Bumi (UU 24 tahun 2014) yang dibuat sehingga investasi pada sektor geotermal pun terus meningkat. Maka dari itu, energi-energi bersih yang dimiliki bumi Indonesia wajib untuk dimanfaatkan dengan baik dan maksimal sehingga mendatangkan kepercayaan dari dunia internasional. Hanya dengan kepercayaan maka investasi dari negara-negara mapan akan mengalir.
Kedua, pertumbuhan ekonomi. Semakin tingginya kepercayaan dunia internasional dalam wujud semakin besarnya nilai investasi pada sektor EBT kelak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi negara. Jika bebicara mengenai pertumbuhan ekonomi maka dapat dipahami bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cenderung positif. Hal demikian dibuktikan dengan pertumbuhan yang konstan berada 5% pada tahun 2022 dan 2023. Padahal dalam 5 tahun terakhir kita terbelenggu oleh wabah covid-19. Kalau saja tidak ada covid-19, mungkin saja pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7% dalam 5 tahun terakhir.
Namun demikian, meski pertumbuhan ekonomi masih dalam trend positif tetap saja Indonesia harus terus meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Sebagaimana ditargetkan Prabowo, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus tembus angka 8% dalam 5 tahun ke depan. Sementara itu, untuk saat ini berdasarkan data BPS, pada Triwulan III-2024, ekonomi Indonesia tumbuh 4,95% (yoy) dimana Jawa memiliki kontribusi paling besar yaitu 56,84% dengan sumber pertumbuhan utama di sektor konstruksi (7.48), perdagangan(4.82) dan pengolahan (4.72). Sementara dari pertambangan mencapai 3,46. Terkait sektor pertambangan, menurut data Badan Kebijakan Fiskal pada triwulan IV-2023 tumbuh menguat sebesar 7,46%.
Jika melihat sumber pertumbuhan utama perekonomian kita, maka dapat diketahui tidak ada pertumbuhan berarti dari sektor pemanfaatan EBT. Padahal, energi EBT merupakan energi masa depan yang diniscayakan dunia internasional. Pemanfaatan EBT yang baru menginjak angka 12,54 GW dari potensi 3.686 GW atau dengan lain perkataan EBT baru mampu dimanfaatkan sebesar 0,3%, menunjukkan tidak efektif dan efisiennya pemanfaatan energi-energi bersih di Indonesia.
Kalau saja EBT dapat dimanfaatkan sampai 40% dalam 5 tahun mendatang, maka sudah dapat dipastikan akan menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tekad pertumbuhan ekonomi di angka 8% sudah barang tentu dapat dicapai. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat kelak mendatangkan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Â
Ketiga, keadilan dan kesejahteraan sosial. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara sudah barang tentu mendatangkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Hal demikian sejalan dengan cita-cita dan tujuan luhur bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Sila Kelima Pancasila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Selain mengejawantahkan Dasar Negara tersebut, sekaligus melaksanakan perintah konstitusi negara UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 tentang Perekonomian Negara dan Kesejahteraan Sosial.
Pemanfaatan energi-energi bersih secara maksimal diniscayakan mampu mengentas kemiskinan bangsa Indonesia. Data dan statistika kemiskinan tidak lagi menjadi topeng pemerintah untuk menutupi fakta-fakta di lapangan. Di lain sisi, pemanfaatan energi-energi terbarukan kelak menghadirkan secara nyata idea keadilan dan kesejahteraan sosial ditengah masyarakat. Terutama bagi warga masyarakat terdampak langsung dan masyarakat sekitar proyek-proyek energi bersih.
Mungkin ada pertanyaan, bagaimana keadilan dan kesejahteraan sosial itu didapatkan masyarakat? Berikut contohnya: penyerapan tenaga kerja lokal akan terbuka lebar; perputaran ekonomi semakin lancar; kelompok-kelompok tani dipedayakan; kegiatan-kegiatan adat dan keagamaan akan dibantu sedemikian rupa; sekolah-sekolah dan instansi-instansi pemerintah lokal seperti desa/kelurahan dapat diberdayakan; dan lainnya.
Transisi Energi Suatu Keharusan!
Transisi energi merupakan pengalihan penggunaan energi dari yang berbahan fosil dan tidak ramah lingkungan menuju energi bersih yang bersifat terbarukan dan ramah lingkungan. Pengalihan energi merupakan kesepakatan bersama dunia internasional dalam menjaga bumi yang memang sedang dilanda perubahan iklim ekstrem dalam 20-30 terakhir. Dalam pada itu, transisi energi juga harus dilihat dari sudut pandang perekonomian karena sejatinya pemanfaatan energi bersih berdampak signifikan bagi perekonomian rakyat.
Maka dari itu, sudah sepatutnya transisi energi dengan pemanfaatan energi-energi bersih seperti matahari, air, panas bumi, udara dan lainnya, menjadi suatu keharusan! Bumi Indonesia yang potensial akan energi-energi bersih sudah waktunya memandirikan bangsa dalam sektor energi. Terutama pula kemandirian atau swasembada energi kelak menghadirkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia.
Namun demikian, idea yang luhur dan mulia tidak mungkin dapat diwujudnyatakan jika tidak adanya dukung-mendukung antara pemerintah dengan masyarakat. Dengan demikian itikad baik (political will) pemerintah dan dukungan masyarakat harus selalu berjalan beriringan. Begitu pula dalam kaitannya dengan swasembada energi melalui pemanfaatan energi-energi ramah lingkungan. Usaha-usaha pemerintah untuk memanfaatkan segala sumber daya energi yang terkandung pada bumi Indonesia akan sia-sia ketika tidak didukung oleh masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa mentalitas masyarakat Indonesia dalam menghadapi kemajuan semisal melalui pembangunan negara, masih sangat rapuh dan rentan. Hal ini dapat diperhatikan dari aksi-aksi penolakan terhadap pembangunan negara, katakanlah pembangunan dan pengembangan energi panas bumi. Kerapuhan masyarakat akan pengetahuan kemudian membuat mereka rentan terhadap hasutan-hasutan dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Padahal, setiap pembangunan negara semisal pemanfaatan energi-energi bersih pastilah bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tidak mungkin untuk mencelakai masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H