Mohon tunggu...
Fais Yonas Boa
Fais Yonas Boa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Aksara, Kopi dan kepolosan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Nature

Transisi Energi: Haruskah?

18 November 2024   10:56 Diperbarui: 18 November 2024   11:44 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://asset.kompas.com/

Cadangan melimpah EBT yang dimiliki Indonesia tentu patut disyukuri. Namun demikian, tidak boleh menafikan fakta bahwa pemanfaatannya masih sangat jauh dari harapan dan target. Berdasarkan data Dewan Energi Nasional (DEN) pada tahun 2023, persentase bauran energi tertinggi masih didominasi batu bara (40,46 persen), minyak bumi (30,18 persen), gas bumi (16,28 persen), sedangkan energi bersih (13,09 persen).

Persentase pemanfaatan EBT memang meningkat 0,79 persen pada tahun 2023. Namun realisasi tersebut masih di bawah target yang ditetapkan sebesar 17,87 persen. Pemerintah semula menargetkan bauran energi nasional sebesar 19,49 persen pada tahun 2024 dan 23 persen pada tahun 2025. Namun, kemudian direvisi menjadi 17-19 persen pada tahun 2025.

Data bauran energi di atas, dapat dipahami bahwa energi-energi bersih belum dimanfaatkan dengan baik apalagi maksimal. Energi fosil masih sangat mendominasi. Padahal Indonesia memiliki kekuatan potensial di bidang EBT. Oleh karena itu, pemanfaatan EBT sudah menjadi keharusan karena akan berdampak besar dalam berbagai aspek kehidupan negara baik secara internasional maupun nasional. Adapun beberapa manfaat utama penggunaan energi bersih bagi bangsa dan negara Indonesia.

Pertama, kepercayaan internasional. Sebagai negara yang sedang berada di pintu masuk kemajuan, Indonesia sangat butuh kepercayaan dunia internasional. Hal ini menjadi salah satu kunci utama terjalinnya kolaborasi simbiosis-mutualis dengan negara-negara mapan. Pemanfaatan energi bersih juga demikian yakni sangat ditentukan oleh kepercayaan dari negara-negara mapan yang akan mendukung pendanaan proyek-proyek EBT yang memang membutuhkan investasi besar.

Kalau kita mencermati data dari tahun ke tahun, tren investasi EBT memang selalu didapatkan. Akan tetapi, bergerak sangat fluktuatif di kisaran US$ 1,36 miliar sampai US$ 1,96 miliar. Perinciannya, realisasi EBTKE di 2017 senilai US$ 1,96 miliar, kemudian 2018 senilai US$ 1,53 miliar, 2019 senilai US$ 1,71 miliar, 2020 senilai US$ 1,36 miliar, 2021 senilai US$ 1,55 miliar, dan 2022 senilai US$ 1,55 miliar.

Sementara itu, pada tahun 2023 investasi mengalami penurunan sebesar 9,3%, mencapai US$ 1,5 miliar atau setara dengan Rp 23,3 triliun. "Kita perlu tingkatkan investasi dan tenaga kerja. Daya tariknya, kita punya energi yang kompetitif dan ramah lingkungan," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, dalam konferensi pers Capaian Sektor ESDM tahun 2023 dan Program Kerja Tahun 2024, Senin (15/01/2024).

Penurunan minat investasi EBT di Indonesia menandakan kepercayaan internasional yang terus merosot. Hal ini disebabkan oleh pemanfaatan EBT di Indonesia yang tidak baik dan maksimal. Terutama pula, hingga kini tidak ada UU khusus tentang EBT. Hanya UU tentang Panas Bumi (UU 24 tahun 2014) yang dibuat sehingga investasi pada sektor geotermal pun terus meningkat. Maka dari itu, energi-energi bersih yang dimiliki bumi Indonesia wajib untuk dimanfaatkan dengan baik dan maksimal sehingga mendatangkan kepercayaan dari dunia internasional. Hanya dengan kepercayaan maka investasi dari negara-negara mapan akan mengalir.

Kedua, pertumbuhan ekonomi.  Semakin tingginya kepercayaan dunia internasional dalam wujud semakin besarnya nilai investasi pada sektor EBT kelak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi negara. Jika bebicara mengenai pertumbuhan ekonomi maka dapat dipahami bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cenderung positif. Hal demikian dibuktikan dengan pertumbuhan yang konstan berada 5% pada tahun 2022 dan 2023. Padahal dalam 5 tahun terakhir kita terbelenggu oleh wabah covid-19. Kalau saja tidak ada covid-19, mungkin saja pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7% dalam 5 tahun terakhir.

Namun demikian, meski pertumbuhan ekonomi masih dalam trend positif tetap saja Indonesia harus terus meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Sebagaimana ditargetkan Prabowo, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus tembus angka 8% dalam 5 tahun ke depan. Sementara itu, untuk saat ini berdasarkan data BPS, pada Triwulan III-2024, ekonomi Indonesia tumbuh 4,95% (yoy) dimana Jawa memiliki kontribusi paling besar yaitu 56,84% dengan sumber pertumbuhan utama di sektor konstruksi (7.48), perdagangan(4.82) dan pengolahan (4.72). Sementara dari pertambangan mencapai 3,46. Terkait sektor pertambangan, menurut data Badan Kebijakan Fiskal pada triwulan IV-2023 tumbuh menguat sebesar 7,46%.

Jika melihat sumber pertumbuhan utama perekonomian kita, maka dapat diketahui tidak ada pertumbuhan berarti dari sektor pemanfaatan EBT. Padahal, energi EBT merupakan energi masa depan yang diniscayakan dunia internasional. Pemanfaatan EBT yang baru menginjak angka 12,54 GW dari potensi 3.686 GW atau dengan lain perkataan EBT baru mampu dimanfaatkan sebesar 0,3%, menunjukkan tidak efektif dan efisiennya pemanfaatan energi-energi bersih di Indonesia.

Kalau saja EBT dapat dimanfaatkan sampai 40% dalam 5 tahun mendatang, maka sudah dapat dipastikan akan menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tekad pertumbuhan ekonomi di angka 8% sudah barang tentu dapat dicapai. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat kelak mendatangkan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun