Kasus Ferdy Sambo benar-benar menguras perhatian publik. Segenap rangkaian proses hukum yang dijalani Ferdy Sambo, selalu menjadi trending topik di jagat maya.Â
Tidak heran, semua orang mengenal prahara hukum Sambo: Jendral Bintang II yang menjadi tersangka akibat membunuh ajudannya sendiri; dipecat dengan tidak hormat melalui Sidang Etik Polri; telah mengajukan banding terhadap hasil putusan Sidang Etik; berpotensi dihukum mati.
Semacam Intro
Akibat kasus Sambo...publik kini tidak tahu kalau ada 6 orang oknum TNI yang diduga melakukan pembunuhan sadis terhadap 4 orang warga sipil di Timika, Papua. Kita mungkin begitu cepat lupa kalau beberapa oknum polisi di Jatim terdeteksi positif narkoba. Kita mungkin tidak tahu kalau wabah cacar monyet sudah mulai menyerang.
Mungkin juga sudah kita lupa kalau rektor Unila telah ditangkap KPK. Tidak kalah penting, sepertinya kita sama sekali tidak ambil pusing dengan percaturan politik nasional kita. Rasanya kita tidak peduli dengan partai-partai politik yang kini sedangi bermanuver menuju 2024.
Saudara sejagad...kasus Sambo sudah bergulir selama 49 hari terhitung sejak kematian Brigadir J terkuak ke publik (11 Juli). Artinya, sudah 7 akhir pekan romantis yang kita lalui begitu saja akibat dihantui kasus Sambo.Â
saya jadinya berpikir ngawur: jangan-jangan model kerupuk pada waktu perlombaan 17 Agustus yang lalu bergambar wajah Sambo; jangan-jangan hadiah utama panjat pinang adalah menjadi Jendral Polisi bintang dua untuk menggantikan Sambo.
Sambo memang fenomenal. Karir moncreng yang didapatkannya dengan tidak susah payah, bagai kilatan petir; terang benderang tapi cepat berlalu. Sambo seperti mengajarkan kita bahwa segala pencapaian yang cepat dan instan, kelak turun begitu cepatnya.Â
Saya teringat cuitan mantan atasan Sambo Krishna Murti: Kalau naik gunung itu, pijakan kakinya harus kuat. Jangan mengandalkan tarikan orang di atas. Kekuatan diri sendiri yang membawa kita ke atas.
Lelahkah Kita?
Kasus Sambo seakan tidak ada habis-habisnya. Seolah-olah persoalan bangsa ini hanya tentang Sambo. Haruskah kita lelah dengan kasus Sambo? Tidakah kita muak ketika setiap hari mengkonsumsi pemberitaan yang sama dengan intensitas tinggi? Saya pikir kita akan sangat bosan ketika makan durian 10 kali sehari dalam tempo 49 hari. Sebenarnya tidak hanya membosankan, tetapi juga akan membahayakan.
Loh, mengapa membahayakan? Bukankah makan buah itu menyehatkan? Mungkin pertanyan-pertanyaan seperti ini melintas dibenak kita. Sekiranya tidak perlu saya jawab pemirsa budiman...saya yakin kita semua paham kalau makanan dan minuman bergizi sekalipun ada dosisnya. Makan durian sekali sehari mungkin saja masih menyehatkan, tetapi sepuluh kali sehari itu sudah kelebihan dosis.
Begitu pula dalam kaitannya dengan kasus Sambo. Tidak perlu menongok data bahwa puluhan kali dalam sehari selama 49 hari, publik mengkonsumsi pemberitaan tentang Sambo. Artinya, pusat perhatian dan perbincangan publik tanah air semuanya tertuju ke kasus Sambo.Â
Di warung kopi, rumah makan, jagat medsos hingga di ladang dan sawah; mendiskusikan Sambo. Pokoknya pusat perhatian warga se-Indonesia dalam kurun waktu 50 hari terpusat pada kasus Sambo.
Mengkonsumsi pemberitaan kasus Sambo dengan intensitas tinggi tentu saja tidak menyehatkan juga. Tidak menyehatkan bukan karena kasus Sambo mengandung racun, melainkan karena berpengaruh buruk terhadap peristiwa-peristiwa penting lainnya yang terjadi di negeri ini.Â
Akibat pemberitaan kasus Sambo yang setiap saat dihadirkan ke publik, kasus-kasus lain seperti pembunuhan sadis terhadap warga sipil yang terjadi di Timika-Papua; polisi pengguna narkoba; rektor yang korupsi; hingga cacar monyet, tidak terkuak ke publik.
Bukankah kasus Sambo melelahkan kita semua?
Menjadi Dilematis
Harus diakui bahwa publik cukup lelah dengan kasus Sambo yang terus menerus menghiasi layar tv kita. Apakah kita harus mengakhiri saja pemberitaan kasus Sambo? Apakah sudah cukup waktunya bagi publik untuk melupakan kasus Sambo, dan menyerahkan sepenuhnya ke kepolisian? Saya tidak akan mengatakan: akhiri saja pemberitaan kasus Sambo atau lupakan kasus Sambo.
Dengan berbagai pertimbangan dan argumen, saya hendak katakan bahwa kasus Sambo yang melelahkan ini menghadirkan dilema bagi kita semua. Mengapa demikian? ada beberapa pertimbangan dan argumen prihal dilema ini.
Seandainya media mengakhiri pemberitaan kasus Sambo dan publik melupakannya, maka berpengaruh postif pada dua hal, yakni: pertama, energi publik akan pulih kembali. Artinya, kelelahan publik terhadap pemberitaan kasus Sambo yang begitu intensif selama ini dapat diakhiri. Kedua, persoalan-persoalan lain sebagaimana telah disinggung akan kembali mendapat perhatian dari pihak terkait dan juga publik.
Namun demikian, di saat bersamaan pula ketika media mengakhiri pemberitaan kasus Sambo akan berpengaruh negatif pada dua hal, yakni: pertama, potensi rekayasa kasus. Jangan lupa bahwa Sambo memiliki "kerajaan" di tubuh Polri.Â
Bayangkan 83 anggota Polri telah diketahui terlibat, baik langsung maupun tidak langsung dalam kasus pembunuhan Brigadir J atas perintah Sambo. Kedua, Kapolri tidak akan mungkin berani untuk membuka kasus Sambo secara transparan.
Mungkin ada yang bertanya-tanya; apa kaitan antara keberanian Kapolri dengan pemberitaan media. Pada kasus Sambo inilah kita semua tersadarkan bahwa media di era sekarang adalah pemain utama dalam dinamika bernegara.Â
Tanpa media, kasus Sambo tidak akan terkuak! Begitu pula dengan keberanian Kapolri dan institusinya. Media dalam kasus ini harus diakui sebagai sandaran kokoh bagi Polri sekaligus pelopor transparansi bagi publik.
Itulah alasan saya katakan bahwa kasus Sambo yang melelahkan ini membuat kita dilematis. Bertahan di tengah kelelahan akibat setiap hari mengkonsumsi pemberitaan Sambo atau segera melupakan kasus ini sehingga persoalan-persoalan lain mendapat perhatian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H