'Lap lukamu, akan kucarikan daun singkong untuk mengobatinya. Tunggu disini ya...'
Aku hanya diam memandanginya. Ia berasak ke semak-semak. Begitu ia menghilang di tengah kegelapan malam, aku terpaku menatap saputangannya. Kuulurkan selendangku untuk melap luka-luka di kakiku. Sementara tanganku yang satu lagi tetap menggenggam saputangan yang diberikannya.
Tak berapa lama, sayup terdengar suara langkah kaki mendekat. Ia kembali. Kedua tangannya penuh dengan tentengan. Tangan kanannya memegang beberapa batang tangkai daun singkong dan tangan kiringa menyeret umbinya. Ia seperti orang pulang memanen dari kebun singkong. Ia tersenyum gembira begitu melihatku. Aku juga jadi tersenyum melihatnya seperti itu.
'Sudah kau lap lukamu?', tanyanya begitu sudah didekatku
Kembali kusurukkan kakiku dan mengangguk menjawab pertanyaannya. Setelah anggukanku meyakinkan hatinya, ia berasak menumbuk daun-daun singkong yang dibawanya tadi. Aku hanya memandanginya dari jauh. Dan lagi-lagi ia masih tersenyum melakukan itu. Aku terlarut dalam hentakan tangannya memegang batu menghaluskan daun-daun singkong itu. Seketika ia mengalihkan pandangannya ke arahku. Aku tergagap begitu pandangan mata kami bertemu. Ia tergelak melihatku terkejut. Aku kembali mengerucutkan bibirku.
Ia kembali menghampiriku begitu 'obat racikan'nya telah selesai.
'Mana kakimu yang luka itu?'
Aku mengulurkan tanganku, 'biar aku yang pakaikan sendiri. Sini obatnya..'
Ia meletakkan obat racikannya ke telapak tanganku kemudian berbalik mengumpulkan ranting-ranting kering disekitar pondok. Sepertinya ia ingin membuat unggun. Aku hanya memperhatikannya sibuk sendiri menyalakan api. Begitu aku selesai menutupi luka-lukaku dengan 'obat racikan'nya, ia juga sudah berhasil membuat unggun yang cukup besar dan terang. Ia menoleh ke arahku dengan senyum bangganya. Aku membalas untuk berterima kasih, karena unggunnya cukup memberi hangat. Kemudian satu persatu ubi singkong hasil panennya tadi dimasukkannya ke tengah api. Aku hanya memperhatikannya dari jauh.
Begitu semua sudah dianggapnya beres, ia berjalan ke arah pondok. Aku memperbaiki posisi dudukku untuk memberinya tempat untuk duduk. Ia belum melepaskan pandangannya dari unggun, dan beberapa saat kemudian sekilas ia melirik padaku,
'Bagaimana lukamu?'