Mohon tunggu...
Fairuzzabadi
Fairuzzabadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Humaniora Universitas Darussalam Gontor

"Ubahlah Sifat, Prilaku, Kebiasaan dan Kepribadianmu, karena Itu Adalah Cerminan Dari masa Depanmu."

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rumah Berbau Melati

1 Oktober 2022   15:43 Diperbarui: 1 Oktober 2022   15:46 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*RUMAH BERBAU MELATI*

Waktu maghrib yang menegangkan!

Orang-orang bergerak menuju rumah kosong setelah Pencuri Kotak Amal lari ke dalam bangunan angker itu untuk bersembunyi.

Tidak ada Adzan Maghrib senja itu sebab seluruh Jamaah bersama Pengurus Masjid pergi mengejar Pencuri Laknat yang lancang mencemari rumah suci dengan perbuatan kejinya.

Pencuri sialan !

Dia harus ditangkap dan diadili !

Rombongan massa itu saling sahut-menyahut, menumpahkan sumpah-serapah, sesekali mereka meneriakkan Takbir.

Mereka makin dekat. semerbak Melati dibawa angin dari arah rerimbunan pepohonan di halaman rumah angker itu.

Rumah bau Melati. Konon sering ada penampakan Wanita yang melayang-layang mengitari rumah. Ia terbang sambil tertawa cekikikan.

Namun, kali ini siapa yang peduli bau Melati? Siapa yang peduli penampakan Hantu Wanita? Orang beramai-ramai. Bahkan di dalam rombongan itu ada Pak Haji, mana mungkin wanita itu berani menampakkan diri ?

Bau Melati semakin kental, kian menusuk hidung. Wangi sekaligus mendatangkan ketenangan yang mengerikan. Tak berapa lama kemudian orang-orang telah sampai di halaman rumah.

"Allahu Akbar !" Pak Haji mengucap Takbir. Pandangannya menatap tajam ke awang-awang. Sementara warga yang lainnya senyap. Beberapa di antara mereka gemetaran, ada juga yang mulutnya sampai menganga.

Perempuan itu muncul, melambung-lambung di antara 2 pepohonan rimbun.

"Mengapa tak ke Masjid ? Mengapa tak mengumandangkan Adzan? Bangsaku sudah bersiap menutup telinga, beberapa sudah bersembunyi di tempat pembuangan yang kedap dan bau," sergah Wanita yang wajahnya tertutup rambut panjang.

"Kami mau menangkap Pencuri Kotak Amal !" jawab Pak Haji sedikit gemetar.

"Tidak bisa ! Dia mencari perlindungan di rumah kami ! Wajib bagi kami untuk melindunginya !"

"Setan terkutuk ! Sudah terkutuk, sukanya membela bandit yang kelakuannya terkutuk !"

"Kamu lebih terkutuk ! Kalian semua terkutuk !" Lecutan kata itu diiringi tawa cekikikan. Bau Melati bertebaran.

"Biar aku bacakan kamu ayat-ayat Allah ! Lekas-lekaslah terbakar dan enyahlah kamu ke Neraka!"

Pak Haji membaca Ayat Kursi. Warga ber-dzikir bersama-sama. Dengung suara dzikir terdengar bagai segerombolan Lebah.

Tak segera terbakar, Wanita itu malah menirukan bacaan Ayat Kursi secara fasih.

"Bagaimana bisa Ayat Suci itu menghiasi lisan-mu, bahkan tiap hari kamu membaca ber-jus-jus Qur'an, tapi tak satu pun yang terselip di hati kalian ?" ucap Wanita yang kini duduk di atas dahan Pohon Beringin.

"Apa maksudmu, Setan busuk ?"

"Aku tahu siapa si Pencuri Kotak Amal. Dia cuma anak-anak. Dia Yatim. Kini bertambah jadi Piatu. Si Mboknya baru saja meninggal seminggu yang lalu. Tanah kuburannya masih basah lalu kini kalian mau menghabisinya ? Bagaimana bisa penderitaan anak ini luput dari jangkauan kalian ?"

Semua terdiam. Pak Haji makin jengkel.

"Tapi, bukan berarti dia boleh mencuri !"

"Kamu mengumumkan Kas Masjid yang puluhan juta itu melalui pengeras suara. Sementara anak ini kelaparan. Hidupnya kini sebatang kara ! Lalu ke mana saja Kas yang puluhan juta itu? Mengapa yang kalian pentingkan hanya Renovasi dan Perbaikan Masjid saja?"

"Kalau masjid-nya bagus dan nyaman, ibadah jadi tenang." Pak Haji masih membela diri meski nada bicaranya makin melunak.

"Masjid kalian makin megah, makin nyaman, tapi, Allah yang kalian sembah itu kelaparan, kehausan, sedang kalian tak mau menggubrisnya."

"Kurang ajar ! Beraninya kamu merendahkan Allah. Mana mungkin Allah lapar dan kehausan !" Pak Haji kembali menaikkan suara. Telunjuknya mengacung ke atas, tasbih-nya terlihat melilit di pergelangan tangan.

"Dalam setiap jiwa yang kelaparan dan kehausan, Allah begitu dekat. Apa kalian tak pernah mengasah hati nurani ?" Wanita itu kembali cekikikan.

Perkataan terakhir wanita itu membuat hati Pak Haji melunak secara Kaffah. Dahulu, di Pondok Pesantren, ia kerap mendengar Hadits Qudsi tersebut. Mengapa kini ia malah melupakannya ? 

Tertunduk Pak Haji dalam-dalam. Betapa menyesalnya ia kini.

Bau Melati semakin tidak wajar. Makin membuat pusing dan mual. Beberapa yang tidak kuat menghirup aroma kental itu akhirnya lemas dan pingsan. Pak Haji pingsan paling akhir.

 

***

"Pak, bangun! Sudah Maghrib. Ayo ke Masjid," Bu Haji membangunkan suaminya yang tertidur selepas Ashar.

Buru-buru Pak Haji ke Masjid dan mengecek Kotak Amal. Masih pada tempat-nya. Pucat muka pria sepuh itu karena mimpi yang terus berkelebat di benaknya

Usai maghrib, Pak Haji dan beberapa jamaah membongkar Kotak Amal. Dari hasil yang didapat, sebagian dialokasikan untuk Pembangunan, sebagian untuk Kesejahteraan umat.

Esok hari, Pak Haji buru-buru membeli Sembako dengan uang Kotak Amal, ditambah uang pribadinya. Ia mendatangi rumah anak Yatim yang ada di dalam mimpi.

Tersuruk-suruk langkah Pak Haji membopong sekarung Beras dan menenteng bingkisan. Beberapa warga menawarinya bantuan untuk membawakan karung Beras, tapi Pak Haji menolak.

"Ini adalah kelalaianku ! Aku membiarkan anak Yatim itu kelaparan. Aku sendiri yang harus memikulnya !"

Sesampai di depan gubuk tua dan reyot di pinggir sungai, 

buru-buru Pak Haji dan warga dengan bangga membuka pintu gubuk yang hampir roboh itu dan... 

apa yang mereka saksikan ? 

Yatim Piatu itu telah terbujur kaku 

di atas Sajadah lusuh sambil memegangi perutnya.

Di hadapannya ada Al-Qur'an kecil yang masih terbuka pada Surah Al-Baqarah Ayat 155.

Innaalillaahi Wa Innailaihi Rajiun

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun