Mohon tunggu...
Fairuz Lazuardi Nurdani
Fairuz Lazuardi Nurdani Mohon Tunggu... Lainnya - Bachelor of Law

Email : fairuzlazuardi15@gmail.com Instagram : fairuzlazuardi Twitter : @fairuzlazuardi Cp : 082124176998

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perppu Cipta Kerja Jokowi: Langkah Antisipasi Krisis Global dengan Membiarkan Krisis Kemanusiaan hingga Contempt of Constitutional Court

5 Januari 2023   19:30 Diperbarui: 5 Januari 2023   19:33 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pada 30 Desember 2022 Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 2 Tahun 2022 tentang undang-undang Cipta Kerja. Sungguh kado akhir tahun yang sangat indah bagi para Kelas Kapital (Pemodal) dan bencana buruk bagi masyarakat terkhusus kelas pekerja. 

Sebelum masuk pada pembahasan perlu diingat juga bahwa Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 bahwa "Omnibus Law" Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dinyatakan INKONSTITUSIONAL BERSYARAT. 

UU Cipta Kerja cacat secara formil dan MK memberikan tenggat waktu selama 2 (dua) tahun untuk proses perbaikan daripada UU tersebut, apabila selama waktu yang telah ditentukan pemerintah belum menyelesaikan perbaikan tersebut maka UU Cipta Kerja akan INKONSTITUSIONAL SECARA PERMANEN.

Namun, bukannya berupaya untuk melakukan perbaikan sesuai dengan amanat Mahkamah Konstitusi, Jokowi justru membuat Perppu untuk tetap memaksakan kehendak agar implementasi daripada UU Cipta kerja tidak terkendala, entah karena untuk mengantisipasi krisis global atau karena desakan para pemodal atau memang cara untuk mengantisipasi krisis  dengan membuat kebijakan yang isi nya justru menyebabkan krisis kemanusiaan (penindasan) ?

Setelah secara serampangan menerbitkan Perppu atas UU yang dinyatakan Inkonstitusional bersyarat oleh MK, isi daripada Perppu tersebut ternyata pun sudah bisa ditebak yaitu berisikan kebijakan yang tidak pro kepada masyarakat terkhusus masyarakat klas pekerja. Terdapat beberapa ketentuan yang dianggap sangat merugikan klas pekerja semisalnya :

  • Pasal 77 ayat (2) menjelaskan waktu kerja bagi pekerja maksimal 40 jam kerja dalam satu minggu. Adapun pengaturannya yaitu 7 jam 1 hari untuk 6 hari kerja dalam satu minggu atau 8 jam kerja satu hari untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.
  • Sedangkan dalam pasal 79 ayat (2) huruf b menyatakan istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam satu minggu.

Kedua pasal tersebut memiliki pengaturan soal jam kerja namun terdapat dua maksud berbeda yang berpotensi menjadi polemik baru dalam dunia ketenagakerjaan dikarenakan akan timbul kemungkinan perusahaan yang akan menerapkan 6 hari waktu masuk kerja. 

Hal ini justru berbanding terbalik dengan analisis hasil proyek ini diterbitkan oleh lembaga think tank Autonomy dan organisasi penelitian Association for Sustainability and Democracy pada Juli 2021 lalu. Islandia sejak 2015 sampai 2019 telah menjalani dua uji coba pengurangan jam kerja berskala besar. 

Jam kerja yang awalnya 40 jam dikurangi menjadi 35 sampai 36 jam, tanpa adanya pengurangan gaji karyawan. Proyek yang melibatkan sekitar 2.500 karyawan tersebut dianggap sukses besar. Sekitar 86% tenaga kerja di Islandia kini bekerja dengan jam kerja yang lebih singkat, atau memiliki hak untuk mengurangi jam kerja mereka.

Berdasarkan contoh diatas terdapat dua perbedaan besar antara Islandia dengan Indonesia, Islandia berupaya menerapkan kebijakan untuk meningkatkan produktivitas pekerja dengan memberikan jam kerja yang lebih sedikit dalam kurun waktu satu minggu dengan mempertimbangkan hak asasi pekerja sedangkan Indonesia justru membuat kebijakan yang memporsir tenaga pekerja dengan membuat opsi 6 hari kerja dalam satu minggu untuk meningkatkan produktivitas. 

Padahal jika kita mengacu pada Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Kovenan ini memerinci hak setiap orang atas kondisi kerja yang adil dan baik yaitu salah satu point diantaranya mengenai "Waktu istirahat, rekreasi dan pembatasan jam kerja yang wajar serta hari libur rutin berbayar, serta cuti berbayar untuk hari libur publik".

Dalam ketentuan yang mengatur terkait upah pekerja di dalam Perppu juga diatur demikian :

  • Pada pasal 88 huruf C menyebutkan bahwa Gubernur dapat menetapkan upah minimum Kabupaten/Kota
  • Sedangkan di dalam pasal 88 huruf D ayat 2 berisikan, Formula Penghitungan Upah mempertumbangkan variable pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
  • Dalam pasal 88F, berbunyi "Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 88D ayat 2.

Beberapa pasal yang mengatur tentang pengupahan di dalam Perppu Cipta Kerja dapat dikatakan tidak memberikan kepastian hukum bagi pekerja karena termuat banyak celah bagi perusahaan untuk beralasan ketika diharuskan melaksanakan kewajibannya dalam memberikan hak-hak pekerja. 

Pemerintah yang seharusnya juga melindungi pekerja dalam hal ini melalui payung hukum dirasa nihil. Seperti kata "indeks tertentu" lalu dilanjut dengan pengambil alihan kewenangan oleh pemerintah untuk ketika dalam keadaan tertentu membuat suatu formulasi upah dengan dalih menyesuaikan upah, hal ini tentu adalah bagian dari skema politik upah murah.

Upah layak sesungguhnya adalah salah satu Hak Asasi Buruh yang dijamin oleh konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Pasal 28D ayat 2 : "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja". Namun sayangnya amanat konstitusi ini seolah tidak di ejawantahkan semaksimal mungkin oleh pemerintah lewat kebijakan dan bahkan justru sebaliknya. 

Kondisi kesejahteraan buruh beserta keluarganya di Indonesia hingga hari ini masih jauh dari layak dan bermartabat. Hal ini terjadi karena kebijakan politik upah murah Negara yang masih dikuasai oleh pihak yang menganut sistem ekonomi pasar bebas atau kapitalisme. 

Cengkeraman kapitalisme global dan borjuasi dalam negeri terhadap kekuasaan negara sangatlah kuat. Sehingga mandat konstitusi negara yang seharusnya untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, belumlah terwujud.

Tak hanya itu, masih begitu banyak pasal yang memperlihatkan ketimpangan yang begitu curam antara kelas pemodal dengan kelas pekerja dari segi nilai-nilai yang adil dan layak dalam hubungan kerja, nilai tawar kelas pekerja yang semakin di reduksi lewat kebijakan membuat lahirnya penindasan baik yang terlihat maupun yang tak terlihat, yang tidak disadari maupun yang disadari tetapi dirasa seolah sudah tak ada cara lagi untuk melawan penindasan tersebut.

Selanjutnya mengenai Contempt of Court, istilah ini mengacu pada penghinaan terhadap pengadilan. Di Indonesia, istilah Contempt of Court pertama kali ditemukan pada penjelasan umum undang-undang, yaitu UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 

Secara terminologi, Contempt of Court adalah tindakan yang dilakukan dengan unsur kesengajaan untuk mengabaikan atau tidak mematuhi perintah penguasa yang sah menurut undang-undang. 

Klasifikasi perbuatan contempt of court bisa bersifat langsung maupun tidak langsung,dan dapat dilakukan di dalam ruang pengadilan ataupun dilakukan di luar ruang pengadilan. maka bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk dalam pengertian Tindak Pidana Contempt of court menurut Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji dalam bukunya berjudul Peradilan bebas dan contempt of court meliputi :

  • Disobeying a court order : Perilaku mengabaikan perintah-perintah pengadilan.
  • Obstructing Justice : Berupa obstruksi peradilan merupakan suatu perbuatan yang menimbulkan dampak memutarbalikkan atau mengacaukan suatu proses peradilan untuk menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan.
  • Scandalizing the court : Perbuatan membuat skandal dalam pengadilan serta menyerang integritas dan impartialitas pengadilan merupakan bentuk contempt of court yang dapat dilakukan di luar pengadilan. Karena meliputi pernyataan yang mengandung kata-kata penyalahgunaan ataupun ucapan yang mengandung penghinaan.
  • Sub Judice Rule : Suatu usaha berupa perbuatan atau sikap yang ditunjukkan ataupun pernyataan secara lisan sebagai usaha untuk mempengaruhi hasil dari suatu pemeriksaan peradilan.
  • Misbehaving in Court : Tidak berkelakuan baik dalam persidangan, atau bertingkah laku tidak sopan, tercela dan tidak pantas dalam persidangan pengadilan.

Memang pada dasarnya di Indonesia pengaturan mengenai contempt of court bisa dikatakan belum memadai karena belum diatur secara terperinci dalam peraturan perundang-undangan sehingga perbuatan-perbuatan yang sebetulnya adalah merupakan penghinaan terhadap pengadilan dianggap adalah bukan penghinaan atau bukan merupakan suatu delik.

Jika kita mengkaitkan dengan penerbitan Perppu Cipta Kerja di tengah situasi UU Cipta kerja yang masih berstatus Inkonstitusional bersyarat dan ada kewajiban yang diberikan MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja tersebut, hal ini apakah dapat dikategorikan sebagai contempt of court atau lebih tepatnya contempt of constitutional court yang dilakukan oleh jokowi ?

Menurut hemat ku dengan diterbitkannya Perppu maka Jokowi telah melakukan penghinaan terhadap lembaga pengadilan yang dalam hal ini mahkamah konstitusi. Secara tegas MK telah memutuskan bahwa secara formil UU Cipta Kerja tidak memenuhi dua syarat utama yaitu tidak memiliki dasar atau bantalan hukum dalam pembuatannya dan kedua tidak memenuhi syarat partisipasi bermakna. Namun putusan itu hanya dianggap angin lalu sepertinya oleh jokowi, wajah otoriternya dengan berani menerbitkan Perppu yang mengesampingkan putusan MK.

Deretan panjang kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dan justru berpihak pada golongan tertentu di era jokowi sepertinya sudah tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Berbagai aspirasi, berbagai penolakan, berbagai perlawanan secara prosedural dirasa akan sia-sia ketika melawan rezim yang memang pada dasarnya berkuasa bukan untuk kepentingan rakyatnya. 

Ini menjadi bukti kuat bahwa seharusnya Indonesia bukan lagi disebut sebagai Rechtsstaat (Negara hukum) yang sejatinya merupakan "negara konstitusional" yang membatasi kekuasaan pemerintah dengan hukum, melainkan saat ini justru bergeser menjadi Negara yang berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat) yaitu identik dengan pemimpin yang otoriter. Kekuasaan yang terpusat (sentralistik). Konfigurasi politik yang otoriter maka akan melahirkan produk hukum yang represif dan sangat mengekang kebebasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun