Mohon tunggu...
Fairuz Lazuardi Nurdani
Fairuz Lazuardi Nurdani Mohon Tunggu... Lainnya - Bachelor of Law

Email : fairuzlazuardi15@gmail.com Instagram : fairuzlazuardi Twitter : @fairuzlazuardi Cp : 082124176998

Selanjutnya

Tutup

Hukum

RKUHP: Terselip Kepentingan Otoriter Rezim di Tengah Kebutuhan Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia

13 Juli 2022   23:18 Diperbarui: 13 Juli 2022   23:21 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum Pidana di Indonesia saat ini diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau yang lebih dikenal dengan KUHP. KUHP memiliki sejarah yang lekat dengan Belanda karena memang Hukum Pidana secara tertulis pertama kali dibawa oleh Belanda ke Indonesia dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie, pengesahannya diterapkan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlangsung sejak tanggal 1 Januari 1918.

Mengingat Belanda merupakan salah satu bangsa penjajah Indonesia kala itu, maka Hukum Pidana yang dibawa oleh Belanda pun tentu berisikan aturan yang mengekang pribumi agar tidak memiliki kebebasan berekspresi demi menjaga eksistensi kekuaaan Belanda di tanah jajahannya.

Pada tahun 1945 Indonesia merdeka dan tentu memerlukan berbagai jenis aturan hukum yang dibuat berdasarkan nilai-nilai bangsa Indonesia itu sendiri, namun keadaan yang belum memungkinkan untuk merumuskan jenis-jenis hukum karena masih dilanda agresi dan pemberontakan maka diadopsi lah hukum warisan kolonial untuk mengisi kekosongan hukum tersebut.

76 tahun Indonesia merdeka, wacana pembaharuan KUHP yang telah dicanangkan sejak 1963 hingga kini belum menemukan titik terang untuk disahkan. 

Hal itu tentu menjadi pertanyaan besar dibenak seluruh masyarakat yaitu dimana letak persoalan mengapa KUHP baru belum juga rampung untuk diselesaikan dan disahkan agar bisa menggeser eksistensi KUHP warisan kolonial yang semakin melunturkan kultur budaya bangsa Indonesia yang asli.

Sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan atas dasar kekuasaan (machstaat) Indonesia menuangkan cita-cita ataupun tujuan negara melalui hukum sebagai sarananya dengan kata lain hukum adalah sarana yang digunakan dalam mencapai tujuan negara yang sudah di cita-citakan. 

Namun hukum lahir dengan melalui proses politik terlebih dahulu, politik hukum Indonesia yang memang mengacu pada konsep demokrasi pada akhirnya diwujudkan dengan cara menginput atau memasukan aspirasi masyarakat melalui wakil-wakil rakyat sebagai corong vital dalam melahirkan aturan-aturan hukum.

Sebagaimana kita ketahui bahwa produk-produk hukum di Indonesia merupakan produk politik. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. 

Begitupula Presiden, berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Sehingga pengesahan seuatu Rancangan Peraturan Perundang-Undangan menjadi Undang-undangan adalah suatu bentuk kesepakatan bersama antara Presiden (Eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif). 

Mengingat Indonesia adalah negara Demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi rakyatnya maka wakil rakyat haruslah juga menyerap aspirasi rakyat untuk diwujudkan ke dalam bentuk aturan tertulis, inilah politik hukum yang berjalan saat ini sebagaimana amanat Konstitusi.

Kembali pada problematika RKUHP yang hingga saat ini belum disahkan, gejolak penolakan masyarakat yang cukup massif pada tahun 2019 diakibatkan terdapat pasal-pasal yang dianggap berpontesi dapat meningkatkan angka kriminalisasi. 

Hal itu bukan sekedar dugaan tanpa dasar, tapi memang fakta di lapangan bahwa banyak korban-korban kriminalisasi akibat menjalankan hak konstitusinal nya. 

Draft RKUHP 2022 yang sudah di publikasi pun ternyata tidak menghilangkan pasal-pasal kontroversial tersebut, ini memperlihatkan tuli dan acuh nya rezim terhadap aspirasi masyarakat. 

Maka ini memperlihatkan ada ketidakberesan dalam hal berjalannya proses politik hukum yaitu akibat pemegang kekuasaan tidak menampung aspirasi rakyatnya dan lebih mementingkan membuat tameng khusus melalui peraturan untuk menjaga kekuasaan.

Wajah otoriter rezim begitu terlihat jika kita membuka draft RKUHP pada beberapa pasal, yaitu Pasal 217 yang berbunyi :

"Setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun."

Pasal 351 ayat (1) dan (2) :

"(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II."

"(2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III."

Pasal 352 ayat (1) :

"(1) Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III."

Pasal 256 :

"Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II."

Pasal-pasal diatas begitu memperlihatkan adanya inkonsistensi dari para wakil rakyat, inkonsistensi yang dimaksud terhadap penerapan nilai-nilai demokrasi yang dianut oleh Indonesia itu sendiri. Penghormatan mutlak terhadap petinggi negara sebagai penguasa dan rakyatnya sebagai yang dikuasai dan pasifnya peran rakyat dalam menentukan arah kebijakan ini bukanlah ciri negara demokrasi melainkan otokrasi.

Bahkan Ir.Soekarno dalam bukunya pokok-pokok ajaran Marhaen, ia menjabarkan bagaimana konsep demokrasi Indonesia memiliki ciri khas tersendiri yaitu "Sosio-Demokrasi adalah demokrasi yang berdiri dengan kedua kakinya di masyarakat, sosio-demokrasi bukanlah demokrasi ala revolusi prancis, bukan demokrasi ala amerika, ala inggirs, ala nederland, ala jerman dan lain-lain. Tetapi ia adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. Jadi sosio-demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi."

Sehingga dapat diambil makna utama dari konsep demokrasi yang dicanangkan Soekarno ialah demokrasi harus melahirkan kedaulatan dari segi politik dan ekonomi bagi rakyatnya. 

Demokrasi merupakan alat untuk rakyat secara keseluruhan dapat membuat suatu kebijakan agar timbulnya kesejahteraan yang merata baik sejahtera secara ekonomi, politik, hukum bahkan budaya. Sayangnya saat ini Indonesia sedang dalam fase demokrasi yang hanya seolah-olah. 

Demokrasi yang terucap di bibir pejabat-pejabatnya namun tak di implementasikan yaitu seminimalnya dengan mendengarkan aspirasi rakyat.

Pasal-pasal diatas adalah ancaman demokrasi, kriminalisasi akan marak terjadi bagi mereka yang bersuara mencibir para pejabat negara yang tak becus bekerja. 

Kritik adalah proses evaluasi yang tak perlu dibarengi oleh solusi, rakyat membayar pajak bertujuan agar para wakil rakyat yang di pilih ketika menjabat dapat mencari solusi atas persoalan-persoalan lalu atas solusi tersebut berhak mendapatkan gaji. 

Jika ada rakyat yang pada akhirnya mengkritik personal pejabatnya apakah salah? Apakah ketika pejabat itu berprilaku acuh dan tuli tidak mendengar aspirasi lalu rakyat mencibir pejabat tersebut dengan mencapnya sebagai orang yang tuli lalu ini bisa dianggap penghinaan?

Sikap anti-kritik yang dituangkan ke dalam pasal-pasal di dalam RKUHP tersebut sangat jelas harus ditolak, kita sampaikan pada mereka yang hendak jadi wakil rakyat jika tidak becus bekerja tidak usah mencalonkan diri jadi pejabat dan malah membuat aturan yang mengekang kebebasan berekspresi. 

Pejabat negara tidak perlu takut rakyat tidak mengenal batasan-batasan, cukup perbaiki sistem dan pemerataan pendidikan maka rakyat akan sangat memahami batasan-batasan tersebut.

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, melainkan jika kita melihat pada sisi lain telah terjadi kelebihan kapasitas (overcrowded) di Lapas atau Rutan yang mana banyak sekali warga binaan akibat persoalan ini tidak terjamin hak asasi nya. 

Dan tak hanya itu, integritas aparat penegak hukum di Indonesia masih harus dipertanyakan, bahasa kriminalisasi yang keluar diatas adalah bahasa yang lahir dari fakta-fakta saat ini bahwa tidak sedikit orang yang justru menjadi korban oleh pasal-pasal karet di dalam suatu aturan. Kepentingan penguasa yang berlebihan juga akan menambah praktik kriminalisasi ini semakin massif terjadi.

Namun polemik RKUHP bukan berarti kita tidak membutuhkan KUHP baru untuk menggantikan KUHP lama, perumus RKUHP juga sebagian merupakan para ahli pidana di Indonesia yang memang berkontribusi dalam memberikan gagasan pembaharuan terhadap hukum pidana di Indonesia. 

Karena keberadaan KUHP baru seharusnya dapat memperbaiki kondisi hukum pidana di Indonesia saat ini, hukum pidana yang harus dianggap sebagai aturan-aturan untuk mewujudkan ketertiban sosial agar terciptanya kedamaian pada masyarakat dan bukan malah sebaliknya dengan keberadaan KUHP baru justru menyebarluaskan ketakutan di masyarakat akibat kekuasaan penguasa merenggut kebebasan sipil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun