Ayahku Hebat
Cerita Anak Faiq Aminuddin
Budi punya dua paman. Namanya Usman dan Lukman. Budi biasa memanggilnya Man Usman dan Man Lukman. Man Usman sudah berkeluarga dan tinggal di Kota Semarang. Sedangkan Man Lukman masih tinggal bersama Kakek Amin di desa. Pak Bagus, ayah Budi juga tinggal di desa. Pak Bagus dan Kakek Amin tinggal di desa yang sama. Nama desanya Banyumanis.
Di desa Banyumanis ada bangunan kuno yang bersejarah, yaitu benteng Portugis Jepara. Benteng ini dibangun sekitar 300an tahun yang lalu yaitu pada masa kerajaan Mataram. Budi sudah beberapa kali ikut keluarga Man Usman jalan-jalan ke benteng Portugis. Kadang hanya foto-foto di depan gerbang, kadang sampai masuk ke lokasi wisata.
Sebentar lagi Man Lukman menikah. Budi sangat senang karena Man Usman akan pulang kampung dan bawa banyak oleh-oleh. Biasanya, Man Usman membawa tiga kotak lumpia. Satu kotak untuk keluarga Budi. Satu kotak untuk keluarga Kakek Amin. Satu kotak lagi untuk dibagikan kepada beberapa tetangga Kakek Amin.
Biasanya, saat pamitan kembali ke kota, Man Usman memberi Budi uang. Paman Usman memang kaya. Budi pernah diajak ayahnya ke rumah Man Usman. Rumahnya bagus, berlantai dua dan ada garasi mobilnya. Mobil Man Usman keren. Warnanya hitam mengkilap.
Budi pernah diajak Man Usman keliling kota Semarang bersama sepupunya. Mereka bertiga tidak hanya naik mobil keliling kota tapi juga mampir ke bandara Ahmad Yani. Budi senang sekali karena bisa melihat pesawat terbang dari jarak yang lumayan dekat.
Di halaman rumah Budi juga ada garasi mobil. Tidak hanya garasi tapi juga ada mobilnya. Tapi itu bukan mobil ayah Budi. Mobil putih itu bertuliskan "Mobil Siaga Desa". Ya, Pak Bagus adalah sopir mobil siaga. Budi hanya satu kali ikut naik mobil siaga. Saat itu pak Bagus mengantar kakek Amin ke rumah sakit. Tentu saja naik mobil siaga tidak seenak naik mobil Man Usman.
Paman Usman punya satu anak laki-laki. Namanya Adi. Usianya sama dengan Budi. Bu Siti, ibu Budi, pernah cerita kalau Adi dan Budi sama-sama lahir di bulan November. Adi lahir pada tanggal lima sedangkan Budi lahir pada tanggal lima belas. Lima belas dikurangi lima sama dengan sepuluh (15 - 5 =10). Jadi, umur mereka hanya selisih sepuluh hari.Jadi, Adi lebih tua sepuluh hari daripada Budi. Walaupun begitu Budi memanggilnya dik Adi.
Menurut Budi, Dik Adi sangat beruntung karena orang tuanya kaya. Rumahnya mewah. Mobilnya bagus. HPnya canggih. Mainannya banyak. Adi punya robot mainan, mobil remot, lego, rubik, topeng dan pakaian super hero dan masih banyak lagi mainan yang lain.
"Bapak kakaknya Man Usman, kan?"
Pak Bagus mengangguk tapi dahinya berkerut. Bapak heran mengapa Budi bertanya seperti itu. Seharusnya Budi sudah tahu kalau pak Bagus adalah anak tertua Kakek Amin. Man Usman dan Man Lukman adalah adik pak Bagus.
"Mengapa Bapak tidak kaya seperti paman?"
Budi bertanya heran.
Pak Bagus pun tersenyum. Pak Bagus tahu kalau Budi iri dengan keluarga paman Usman yang kaya dan tinggal di kota. Pak Bagus tidak marah walau dianggap tidak kaya oleh Budi. Menurut Pak Bagus, Budi masih kanak-kanak. Jadi, wajar kalau Budi iri.
"Orang itu memang bermacam-macam. Ada laki-laki, ada perempuan. Ada yang tinggal di kota dan ada yang di desa. Ada yang kaya seperti Man Usman. Walau tidak seperti Man Usman, kita tetap harus bersyukur. Kita masih punya rumah yang nyaman. Budi kan tahu kalau di kota ada orang-orang gelandangan. Mereka tidak punya rumah. Mereka tidur dan istirahat di bawah jembatan atau kuburan atau teras toko yang tutup. ... "
Budi diam saja walau kurang puas dengan jawaban Pak Bagus. Sebenarnya Budi ingin punya HP sendiri seperti dik Adi. Budi tidak berani minta kepada Pak Agus atau Bu Siti. Budi tahu bahwa orang tuanya tidak punya banyak uang. Pak Bagus saja terpaksa masih memakai HP yang sudah tidak normal. HP Pak Bagus kadang mati sendiri padahal baterainya belum habis.
"Halo ..." Kata bapak sambil mengangkat HP.
"Sehat. Sehat semua. Dik Usman jadi pulang kampung kapan?"
Pak Bagus sedang ditelepon Man Usman. Tiba-tiba HPnya mati. Pak Bagus tidak bisa mendengar suara paman Usman lagi.
Budi pun segera membantu menghidupkan lagi HP ayahnya. Tidak lama kemudian Man Usman menelpon lagi. Ternyata Man Usman dan keluarganya sedang perjalanan ke rumah Budi. Budi senang sekali.
Sabtu siang rombongan keluarga Man Usman sampai di desa. Man Usman datang bersama Bibi Bety dan dik Adi. Mereka naik mobil pribadi. Man Usman yang menyetir sendiri. Mobil diparkir di halaman rumah Kakek Amin. Begitu sampai, Dik Adi langsung minta jajan.
"Boleh jajan tapi salim dulu dengan simbah," kata Man Usman sambil menggandeng Adi masuk rumah Kakek Amin.
"Nak Adi mau minum? Mbah putri sudah buat es kolak pisang lho."
"Terima kasih, Mbah. Adi mau beli es krim dulu, " jawab Adi sambil mencium tangan mbah Amin dan mbah Putri.
"Tolong Dik Adi ditemani jajan." Paman Usman memberikan selembar uang kertas seratus ribu kepada Budi."
Budi belum sempat menjawab tapi tangannya sudah ditarik dik Adi. Mereka berdua berlari ke luar rumah.
Tidak lama kemudian mereka sudah kembali.
"Lho kok cepat sekali?" Man Usman bertanya sambil menerima air minum kemasan botol yang disodorkan Adi. Adi sudah tahu kalau ayahnya hanya minum air putih. Man Usman tidak minum minuman manis karena sakit diabetes.
"Iya beli di warung mbak Karsipah, sebelah rumah," jawab Budi sambil menyerahkan uang kembalian.
Seperti biasanya, Man Usman tidak mau menerimanya.
"Terima kasih. Kembaliannya buat Budi."
"Terima kasih, Paman.
"Uang ayahmu banyak sekali ya, Dik?" Budi bertanya pada Adi.
"Sepertinya sih begitu. Kata ibu, gaji ayah memang lumayan banyak tapi pekerjaannya juga sangat banyak. Ayah sering lembur," jawab Adi sambil menikmati es krim.
Rumah kakek Amin sangat ramai. Sejak pagi, para saudara dan tetangga sudah berdatangan ke rumah Kakek Amin. Mereka membantu persiapan acara pernikahan Man Lukman besok pagi. Ada yang memasang tenda di halaman rumah. Ada yang menyembelih kambing. Ada yang memasak dan lain sebagainya.
"Usman, kamu sepertinya sangat lelah dan mengantuk. Silakan istirahat dulu, " kata kakek.
Man Usman mengangguk. Man Usman memang merasa badannya kurang sehat. Mungkin karena kelelahan.
"Maaf belum bisa ikut bantu-bantu," kata Man Usman sambil bangkit dari kursi.
"Tidak apa-apa. Kamu istirahat dulu."
Kakek melambaikan tangan kepada Budi.
"Budi, tolong antar Paman ke rumah. Jangan diganggu dulu. Biar istirahat."
Budi segera bangkit.
"Mari, Paman. Saya bantu bawakan tasnya."
"Terima kasih, Bud. Tapi tunggu sebentar ya. Ini kaki paman kesemutan."
Man Usman sudah berdiri tapi belum bisa melangkah. Menurut Budi, badan Man Usman kelihatan terlalu gemuk. Wajahnya juga terlihat tidak begitu segar.
"Mungkin Man Usman sedang sakit," batin Budi sambil mencoba menggandeng Man Usman.
"Adi ...."
"Ya, Pak."
"Tolong kamu yang bawa koper ya?"
"Iya, Pak," jawab Adi sambil mendorong koper beroda.
 Mereka bertiga berjalan menuju rumah Budi. Jaraknya sangat dekat. Rumah Budi berada di sebelah toko dan rumah mbah Karsipah. Man Usman kalau ke desa, biasanya memang menginap di kamar Budi.
Setelah tidur siang, sore harinya Man Usman memindah mobilnya ke depan rumah Budi. Malam harinya, sekitar pukul 19.30 WIB, para tetangga berdatangan. Mereka dipersilakan duduk di kursi-kursi yang sudah ditata di halaman rumah. Acara malam itu adalah berdoa bersama menjelang pernikahan Man Lukman.
Seusai acara doa bersama, Man Usman dan Pak Budi masih sibuk menyiapkan barang-barang lamaran yang akan dibawa ke rumah pengantin wanita. Ada lemari kayu berukir yang dihiasi bunga dan kertas warna-warni. Ada berbagai jajanan tradisional. Ada pakaian dan perlengkapan kecantikan. Semua ditata dan dihias dengan bunga dan pita plastik berwarna-warni. Mobil Man Usman juga dihias karena akan dinaiki pengantin.
"Wah ternyata Man Usman jago menghias juga ..." Budi kagum dengan keterampilan pamannya.
Man Usman hanya tersenyum.
"Aku juga bisa," sahut Adi. "Kan tinggal niru video tutorial di internet."
Mereka pun tertawa bersama.
Minggu pagi, rombongan pengantin berangkat dari rumah kakek Amin ke rumah pengantin perempuan. Man Lukman naik mobil Man Usman. Man Lukman duduk di depan di samping Man Usman. Man Lukman terlihat lebih gagah. Dia memakai kemeja putih, peci, jas, celana dan sepatu hitam. Budi, dan dik Adi ikut di mobil pengantin bersama Bib Bety, pak Bagus dan bu Siti.
Acara demi acara sudah berlangsung dengan lancar. Menjelang tengah hari, rombongan kakek Amin sudah kembali. Hanya Man Lukman dan dua temannya yang ditinggal di rumah pengantin perempuan.
Minggu sore harinya, keluarga Man Usman sudah berkemas-kemas untuk kembali ke kota. Man Usman sudah minta ijin ke Mbah Amin dan mbah Putri untuk segera kembali ke kota.
"Kok buru-buru?" tanya Budi dengan nada kecewa.
"Maaf, Paman besok pagi harus sudah berangkat kerja," jawab Man Usman pelan. Sepertinya Man Usman mengantuk.
Melihat adiknya terlihat kurang sehat, Pak Bagus usul agar Man Usman tidak menyetir mobil. Menurut Pak Bagus, Man Usman seharusnya memang istirhat dulu agar besok Senin pagi sudah bisa berangkat kerja.
"Kita minta tolong Om Arip saja."
Om Arip adalah teman Pak Budi yang juga sopir mobil siaga desa.
"Nanti Om Arip pulang ke desannya bagaimana?"
"Ya besok biar naik bus. Massak mau jalan kaki," jawab Pak Bagus sambil bercanda.
Budi bersedih karena keluarga Man Usman kembali ke kota. Tapi Budi juga senang karena diberi uang Man Usman. Budi benar-benar sedih ketika hari Senin pagi ada kabar duka. Ternyata semalam Man Usman harus masuk rumah sakit karena tiba-tiba tidak sadarkan diri.
Pagi itu juga Pak Bagus sekeluarga berangkat ke rumah sakit Kariadi Semarang. Budi juga ikut. Budi bertemu dik Adi dan Bibi Bety di tempat parkir rumah sakit. Saat itu Bibi Bety akan membelikan sarapan dik Adi. Ternyata dik Adi tidak mau sarapan. Dia masih menangis. Budi tidak tahu harus berbuat apa.
"Budi dan Ibu temani dik Adi di taman dulu. Biar bapak diantar Bibi Bety menjenguk paman ke dalam," kata bapak sambil mengajak kami ke taman di dekat kantin.
Budi hanya bisa duduk di samping dik Adi yang masih menangis pelan. Ibu coba membelikan teh hangat.
"Dik Adi coba minum dulu. Sedikit saja tidak apa-apa," bujuk bu Siti.
Kejadian ini membuat Budi tidak iri lagi dengan dik Adi. Budi jadi merasa lebih beruntung bapaknya masih sehat.
Paman Usman meninggal karena serangan jantung. Budi menjadi lebih beruntung. Ayahnya masih hidup. Bahkan sebenarnya ayahnya selalu ada untuk Budi dan keluarga.
Dulu Budi juga disayang paman Usman. Sekarang dik Adi juga disayang oleh ayah Budi.
Budi senang karena keluarganya saling sayang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H