Pak Bagus mengangguk tapi dahinya berkerut. Bapak heran mengapa Budi bertanya seperti itu. Seharusnya Budi sudah tahu kalau pak Bagus adalah anak tertua Kakek Amin. Man Usman dan Man Lukman adalah adik pak Bagus.
"Mengapa Bapak tidak kaya seperti paman?"
Budi bertanya heran.
Pak Bagus pun tersenyum. Pak Bagus tahu kalau Budi iri dengan keluarga paman Usman yang kaya dan tinggal di kota. Pak Bagus tidak marah walau dianggap tidak kaya oleh Budi. Menurut Pak Bagus, Budi masih kanak-kanak. Jadi, wajar kalau Budi iri.
"Orang itu memang bermacam-macam. Ada laki-laki, ada perempuan. Ada yang tinggal di kota dan ada yang di desa. Ada yang kaya seperti Man Usman. Walau tidak seperti Man Usman, kita tetap harus bersyukur. Kita masih punya rumah yang nyaman. Budi kan tahu kalau di kota ada orang-orang gelandangan. Mereka tidak punya rumah. Mereka tidur dan istirahat di bawah jembatan atau kuburan atau teras toko yang tutup. ... "
Budi diam saja walau kurang puas dengan jawaban Pak Bagus. Sebenarnya Budi ingin punya HP sendiri seperti dik Adi. Budi tidak berani minta kepada Pak Agus atau Bu Siti. Budi tahu bahwa orang tuanya tidak punya banyak uang. Pak Bagus saja terpaksa masih memakai HP yang sudah tidak normal. HP Pak Bagus kadang mati sendiri padahal baterainya belum habis.
"Halo ..." Kata bapak sambil mengangkat HP.
"Sehat. Sehat semua. Dik Usman jadi pulang kampung kapan?"
Pak Bagus sedang ditelepon Man Usman. Tiba-tiba HPnya mati. Pak Bagus tidak bisa mendengar suara paman Usman lagi.
Budi pun segera membantu menghidupkan lagi HP ayahnya. Tidak lama kemudian Man Usman menelpon lagi. Ternyata Man Usman dan keluarganya sedang perjalanan ke rumah Budi. Budi senang sekali.
Sabtu siang rombongan keluarga Man Usman sampai di desa. Man Usman datang bersama Bibi Bety dan dik Adi. Mereka naik mobil pribadi. Man Usman yang menyetir sendiri. Mobil diparkir di halaman rumah Kakek Amin. Begitu sampai, Dik Adi langsung minta jajan.