2001, Awal dia bermimpi
Bagi kebanyakan orang, hari jum'at adalah hari yang mulia. Hari keberkahan, hari kebaikan dan sebagainya. Dia hadir untuk memperjuangkan mimpi-mimpi para pejuang. Dia hadir bersemangat untuk menjadi penerus.
Sorak-sorak ramai, senang dengan kehadirannya. Berharap kelak menjadi pejuang sejati yang tak kenal lelah. Yah, salah satu ciri pejuang adalah tidak kenal lelah dan tidak gampang untuk mengeluh apalagi menyerah, itu bukan tipikal pejuang sejati. Diantara pejuang-pejuang yang hadir saat itu, datang beribu-beribu harapan tinggi. Harapan yang semoga berjalannya waktu akan tergapai oleh para pejuang-pejuang hebat ini.
Pagi itu, andri berangkat sekolah hanya berdua dengan kakaknya yang memang satu sekolah dengannya. Berbekal uang lima ribu rupiah, andri masuk kelas 1 di sekolah dasar yang berada di kota. Setiap harinya andri dan kakanya harus menggunakan mobil angkutan umum untuk sampai ke tempat sekolah, begitupun pulangnya.
Hari pertama kaka nya sekolah, dia tidak pernah diantar sampai masuk ke dalam kelas. Ayah nya hanya mengantar sampai gerbang sekolah dan itupun hanya sekali saat masuk dan dua kali ketika pembagian nilai rapot. Begitupun dengan andri, dia bahkan tidak pernah sama sekali diantar oleh ayahnya sampai masuk ke dalam lingkungan sekolahnya.
"Ayah, besok beli sepedah yah" pinta anaknya.
"Iya, tapi ada syaratnya"
"Apa syaratnya?"
"Setiap abis magrib, harus ngaji di rumah ustadz markani. Gimana, mau?" pinta ayahnya.
"Iya mau, yaudah besok beli nanti langsung dipake buat ke rumah ustadz markani" jawab anaknya yang baru duduk di kelas 1 sekolah dasar.
Andriansyah Saputra, lelaki desa yang mempunyai mimpi tinggi sama seperti ayahnya. Dia, dan keluarganya hidup di sebuah desa yang jika ingin bertemu ibu kota harus menempu jarak kurang lebih 7 kilometer.