Ikhwanul Muslimin berperan aktif dalam Revolusi 25 Januari, khususnya dalam apa yang dikenal sebagai "Pertempuran Unta." Setelah rezim Husni Mubarak digulingkan, mereka memutuskan untuk membentuk partai politik baru dengan nama Parta Kebebasan dan Keadilan, serta menunjuk anggota parlemen dan pemimpin kelompok tersebut, Muhammad Sa'd al-Katatni, sebagai wakilnya, sebelum anggota parlemen dan anggota Kantor Bimbingan Kelompok memilih Muhammad Mursi, sebagai ketuanya, dan Essam el-Erian serta pemikir Kristen, Rafiq Habib, menjadi wakilnya. Al-Katatni juga terpilih sebagai sekretaris jenderal partai tersebut.
Dalam pemilu legislatif pertama setelah Revolusi 25 Januari, Ikhwanul Muslimin memenangkan sekitar 40% kursi di Majelis Rakyat dan menjadi kelompok mayoritas di kursi parlemen untuk pertama kalinya dalam sejarah mereka. Sa'd Al-Katatni terpilih sebagai Presiden Majelis. Namun pada tanggal 14 Juni 2012 M Mahkamah Konstitusi Agung mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa undang-undang pemilu tidak konstitusional, diikuti oleh Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata -yang mengambil alih pemerintahan setelah penggulingan Mubarak- membubarkan Majelis Rakyat sepenuhnya.
Dalam pemilihan Dewan Syura, Ikhwanul Muslimin memenangkan sekitar 60% kursi, dan pemimpin kelompok tersebut, Ahmad Fahmi, terpilih sebagai ketuanya.
Sepanjang masa pemerintahan dewan militer, hubungan Ikhwanul Muslimin dengan mereka bersitegang, sampai-sampai kelompok tersebut memutuskan untuk mencalonkan Khairat el-Shater, Wakil Pemimpin Umum, untuk maju ke dalam pemilihan presiden, dan mencalonkan Mursi sebagai kandidat lain untuk mencegah el-Shater ikut serta ke dalam pemilu. Alhasil asy-Syathir tidak mencalonkan diri dalam pemilu, dan itulah yang terjadi.
Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan, Muhammad Mursi, mencalonkan diri dalam pemilihan presiden melawan 12 kandidat lainnya. Ia menduduki puncak putaran pertama pemilihan, kemudian berhasil menang dalam putaran kedua atas Ahmed Shafiq, perdana menteri terakhir pada masa pemerintahan Mubarak.
Mursi menjabat sebagai presiden pada tanggal 30 Juni 2012 M. Ia menjadi presiden Mesir pertama yang berasal dari orang sipil, selain dari kelompok Ikhwanul Muslimin. Belum satu tahun menjalankan pemerintahannya, kekuatan oposisi melakukan demonstrasi untuk menuntut pengunduran dirinya, dan disusul dengan Menteri Pertahanan Abdul Fattah as-Sisi yang melakukan kudeta militer sehingga dapat menggulingkan dan memberhentikan Mursi, mengabaikan UUD 2012 serta membubarkan Dewan Syura.
Setelah kudeta militer, Ikhwanul Muslimin menjadi sasaran empuk tindak kekerasan yang menargetkan sebagian besar pemimpinnya. Ketua Umum Muhammad Badi', dua wakilnya, Khairat el-Shater dan Rasyad Bayoumi, dan sebagian besar anggota Kantor Bimbingan ditangkap, tidak terkecuali ketua Partai Kebebasan dan Keadilan, Sa'd Al-Katatni, wakilnya, Essam el-Erian, serta ribuan kader kelompok dan partai.
Lebih dari penangkapan itu --yang mula-mula menargetkan anggota perempuan kelompok Ikhwanul Muslimin-- ribuan anggota kelompok tersebut terbunuh, terutama dalam pembantaian massal yang membubarkan aksi unjuk rasa.
Pada tanggal 25 Desember 2013 M, Dewan Menteri Sementara Mesir mengumumkan bahwa Ikhwanul Muslimin dianggap sebagai "kelompok teroris" setelah dana dan markas besar kelompok tersebut disita pasca kudeta militer.
Diterjemahkan dari: