"Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulu menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka (orang-orang yang beriman) melintas di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira ria." (QS. al-Muthaffifin [83]: 31).
Allah swt. juga mencela orang-orang munafik, ketika mereka tertawa dan bersuka ria setelah berhasil tidak ikut pergi berperang pada peperangan Tabuk. Mereka menyampaikan alasan-alasan dusta agar diizinkan tinggal di Madinah. Maka Allah swt. berfirman:
"Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang), merasa gembira duduk-duduk diam sepeninggal Rasulullah. Mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata, 'Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.' Katakanlah (Muhammad), 'Api neraka Jahannam lebih panas,' jika mereka mengetahui. Maka biarkanlah mereka tertawa sedikit dan menangis yang banyak, sebagai balasan terhadap apa yang selalu mereka perbuat." (QS. at-Taubah [9]: 82).
5). Candaan yang dilontarkan sebaiknya yang masuk akal, tidak berlebihan dan sewajarnya. Yakni, candaan yang dapat diterima oleh hati nurani dan pikiran yang sehat, sesuai dengan norma masyarakat serta tidak menodai kehormatan Allah swt. atau orang lain.
Karena Islam menolak segala sesuatu yang tidak wajar dan berlebihan dalam ibadah, terlebih prihal canda dan tawa.
Oleh sebab itu Nabi saw. pernah bersabda: "Janganlah kamu banyak tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati nurani." (HR. Ibnu Majah). Jadi yang terlarang di sini adalah tawa yang terlalu banyak dan berlebihan.
Dalam sebuah riwayat, Ali bin Abi Thalib ra. berpesan: "Bumbuilah pembicaraan dengan canda sekadar kamu membumbui makanan dengan garam." Pesan ini amat bijak, di satu sisi tidak menafikan canda dan tawa, tapi di sisi lain juga ia mengingatkan bahaya canda yang berlebihan.
Kadar yang berlebihan tersebut dikhawatirkan akan melalaikan manusia dari persoalan hidup yang mesti mendapat perhatian, membuat orang-orang bodoh menjadi berani menginjak-injak harga diri, atau menyebabkan teman-teman kita menjadi marah. Boleh jadi inilah yang dimaksud oleh sabda Nabi saw.: "Janganlah kamu mendebat saudaramu atau mencandainya." (HR. At-Tirmidzi dan Bukhari), kendati dalam hadis ini terdapat kelemahan dari segi sanad.
Di sini candaan yang berlebihan disamakan dengan perdebatan, keduanya dapat membuat orang naik pitam. Sa'id bin al-'Ash pernah berpesan kepada anaknya: "Kurangilah bercanda; karena canda yang berlebihan dapat menghilangkan kebaikan dan membuat orang-orang bodoh berani menginjak-injak dirimu. Di samping itu, meninggalkan canda juga dapat menjauhkanmu dari orang-orang yang gemar mengobrol dan membuat mereka yang suka bergaul menganggapmu kaku."
Hemat kata, sebaik-baiknya perkara -sampai kapanpun- adalah yang pertengahan atau proporsional. Ini merupakan jalan dan karakter Islam yang paling dominan, serta poros keutamaan umat Islam atas umat-umat yang lain.
-Wallahu A'lam-