Di bawah judul kecil ini penulis mengajak para pembaca untuk sama-sama merenungkan kejadian-kejadian tak senonoh yang kerap kita temui dalam kehidupan kita lalu menyandingkannya dengan nilai-nilai tasawuf, dan asumsikanlah dalam dunia ide kita bagaimana jika nilai-nilai itu diterapkan dalam kehidupan. Adapun dii sini penulis hanya membatasi pembahasan pada dua peristiwa yang penulis timbang amat patut mendapatkan perhatian:
Belakangan ini marak terjadi pembunuhan berencana gegara Harta Warisan, salah satunya seperti yang dilansir platform berita detiknews, "ditemukan empat kerangka manusia yang terpendam di kebun belakang rumah warga di Grumbul Karanggandul, Pasinggangan, Banyumas, Jateng, mereka adalah anak-anak dan cucu pemilik pekarangan, Misem. Keempatnya dihabisi saudaranya sendiri karena konflik warisan." Betapa tersayat hati ini mendengar peristiwa berdarah gegara masalah sepele seperti itu.
Kemudian masih ingatkah dengan nama-nama ini: Said Agil Husin al-Munawar, Luthfi Hasan Ishaaq, Suryadharma Ali, Ahmad Fathanah, KH Fuad Amin Imron, Gatot Pujo Nugroho? Ya, kesemuanya adalah tokoh agama Islam yang pernah tersandung kasus korupsi. Apakah mereka orang miskin yang selalu memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk makan besok? Pernahkah melihat mereka mengenakan baju koyak tak layak pakai? Pernahkah?!
Apalah jadinya hati jika sudah menjadi sarang setan. Jiwa rakus layaknya kera sudah merajai jasad mereka. Alangkah menganga mereka yang hidup dalam sistem yang rusak jika nilai-nilai tasawuf menjelma menjadi sebuah jasad yang kemudian bertegur sapa dengan mereka semua. Bagaimana tidak, jika sistem zalim mendidik anjing-anjing mereka agar selalu merasa tidak puas atas harta yang didapat, maka tasawuf mengajarkan kanaah, yakni menerima atau merasa puas atas apa yang sudah menjadi bagaiannya. Atau menurut Abu Abdillah bin Khafif, meninggalkan angan-angan terhadap sesuatu yang tidak ada dan menganggap cukup sesuatu yang ada di muka.
Hidup dalam dunia tasawuf akan selalu didendangkan sabda Nabi saw. dari Jabir bin Abdullah:
"Kanaah ibaratkan harta simpanan yang tidak akan rusan dan binasa." (HR. Ath-Thabrani).
Juga sabda Nabi saw. yang disampaikan oleh Abu Hurairah ra.:
"Jadilah orang yang wara', maka engkau akan menjadi orang yang paling ahli beribadah. Jadilah orang yang kanaah, maka engkau akan menjadi orang yang paling ahli bersyukur. Cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai diri sendiri, maka engkau akan menjadi orang mukmin yang baik. Berbuatlah baik kepada tetanggamu, maka engkau menjadi orang Islam yang baik. Sedikitkan tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati." (HR. Al-Baihaqi). Begitupun hadis-hadis senada.
Tidak kalah memalukan dengan kasus di atas. Saya sebagai bagian dari ritus keilmuan tertua sepanjang sejarah peradaban Islam merasa kecewa dengan teman-teman satu atap saya. Tidakkah terbesit dalam memori mereka senyum bangga Abu al-Wafidin yang sama-sama kita cintai dan hormati atas penilaiannya terhadap "baju berhiaskan emas" yang tengah kita kenakan sekarang? Dan apakah ombak Aleksandria menghempaskan rasa malu mereka hingga ke teluk Aimere? Sungguh, mereka adalah mukmin lemah yang dikalahkan oleh hawanya sendiri sampai diblenggu dan diperbudak, lebih-lebih hawa itu sendiri dijadikannya tuhan. Renungkanlah firman Allah swt:
"Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawanya sebagai tuhannya?" (QS. Al-Furqan [25]: 43). Tuhan ialah yang disembah dan diikuti perintahnya.
Padahal jika mereka mengoptimalkan pemakaian gadget mereka untuk membuka nasihat-nasihat nan menggugah jiwa di YouTube, niscaya mereka akan menemukan "Sang Bapak" menasihati anak-anaknya agar memelihara ifah dan rasa malu demi meluluhlantakkan kesenjangan sosial serta menjaga tiang-tiang kehidupan yang seimbang. Inilah satu di antara nilai-nilai tasawuf yang mesti kita terapkan di dalam kehidupan kita.