Revisi Pemahaman Tasawuf oleh Muhammad AbduhÂ
Dinukil dari buku Studi Kritis Tafsir al-Manar karya Muhammad Quraish Shihab, bahwasannya Muhammad Abduh (w. 1905 M) muda pernah lari ke desa Syibral Khit ketika dipaksa oleh ayahnya untuk kembali belajar di Masjid al-Ahmadi, Thantha. Di desa itu banyak paman dari pihak ayahnya bertempat tinggal. Di kota ini lah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur'an dan menganut paham tasawuf asy-Syadziliah. Sang paman berhasil mengubah pandangan Muhammad Abduh muda dari seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi seorang yang menggemarinya. Bahkan, "Tidaklah berlalu lima hari dari masa pertemuannya itu, kecuali apa yang tadinya paling kusenangi seperti bermain, bercanda, dan berbangga-bangga, telah berubah menjadi hal-hal yang paling kubenci." Demikian Muhammad Abduh menceritakan pengalamannya.
Dari sini Muhammad Abduh kembali ke Masjid al-Ahmadi Thantha, dan kali ini minat dan pandangannya untuk belajar telah jauh berbeda dibanding sewaktu pertama kali ia ke sana.
Satu hal yang perlu dicatat, bahwa pada periode ini, Muhammad Abduh sangat dipengaruhi oleh cara dan paham sufi yang ditanamkan oleh Syaikh Darwisy Khidr.
Kemudian pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani (w. 1897 M) pada tahun 1869 M, mengubah sikap Abduh yang tadinya hanya cenderung kepada pembinaan rasa dan penguasaan ide serta teori-teori ilmiah, ke arah sikap praktis yang menjadikan pemiliknya berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat, berjuang berdasarkan rasa dan ide-ide yang dimiliki guna menghadapi tantangan dan menanggulangi problem. Kemudian pertemuannya dengan al-Afghani juga menjadikan Abduh aktif dalam berbagai bidang sosial dan politik.
Haruskah Bertasawuf?
Prof. Dr. Nasaruddin Umar dalam bukunya Tasawuf Modern menjelaskan, tasawuf dalam arti jalan hidup spiritual secara perorangan, tidak mesti. Namun, tasawuf sebagai ajaran yang mengajarkan kesalehan individual dan sosial, itu mesti; karena hal ini merupakan substansi ajaran Islam. Dunia Fikih dan tasawuf tidak mesti dipertentangan.
Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu mata uang, sebagaimana yang (konon) disebutkan oleh Imam Malik dalam pernyataan di atas. Tidaklah substansial jika seseorang menjelek-jelekkan tasawuf, apalagi menganggap tasawuf itu bid'ah. Sebaliknya, tidak tepat mengatakan tasawuf itu wajib.
Seolah-olah mereka yang tidak menjalani praktik tasawuf kelasnya masih awam atau di bawah. Yang ideal, pengamalan syariat sebaiknya dikukuhkan dengan nilai spiritual yang menukik ke dalam perasaan. Mungkin yang perlu dicermati adalah tasawuf yang menafikan kehidupan duniawi, rasionalitas intelektual, dan menghindari dunia peradaban modern.
Hal yang tak kalah penting, jangan sampai jatuh di dalam praktik tasawuf yang menyimpang dari pokok ajaran Islam, sebagaimana tertera di dalam al-Qur'an dan Hadis.
Change Your Life Charge Your Life with Sufism!