Dimulai dengan ungkapan salah seorang Fakih kenamaan yang sudah tidak lagi asing didengar oleh telinga kita umat Muslim sekalian, yakni Imam agung Malik bin Anas (w. 174):
"Siapa saja yang bertasawuf tanpa berfikih, maka dia zindiq. Dan siapa saja yang berfikih tanpa bertasawuf, maka dia fasik. Dan siapa saja yang menghimpun keduanya, maka dia akan sampai pada hakikat."
Ungkapan di atas banyak dikutip oleh ulama-ulama kekinian dan menisbatkannya kepada Imam Malik, seperti al-Adawi dalam Hasyiyah (catatan kaki)-nya untuk buku Syarh az-Zurqani li Mukhtashar al-'Izziyyah fii al-Fiqh al-Maliki.
Adapun menurut Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dalam bukunya  Majmu' al-Fatawa' serta Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) dalam bukunya at-Talbis menyatakan bahwa penisbatan kaul di atas kepada imam Malik tidaklah benar; karena term "Tasawuf" belum dikenal pada abad-abad pertama.
Term "tasawuf" memiliki beragam pengertian mengikuti warna kacamata seseorang yang meliriknya.
Siapa yang menyoroti tasawuf dari sudut pandang moral (akhlaqi), cenderung mengartikan tasawuf sebagai akhlak mulia, ambillah sebagai contoh, Abu Bakar al-Kattani (w. 322 H) yang mendefinisikan tasawuf sebagai "budi pekerti nan luhur, dan barangsiapa yang bertambah baik kualitas moralnya, bertambah pula kejernihan jiwanya." Atau Imam al-Junaid (w. 298) dan Abu Muhammad al-Jariri (w. 311 H) yang mengartikannya sebagai upaya "berakhlak mulia dan meninggalkan semua akhlak tercela".
Adapun yang meniliknya melalui kacamata kezuhudan (zuhdi), akan mendefinisikannya  dengan"menyedikitkan makan, lalu menyepi bersama Allah swt. serta berpaling dari manusia (gemerlap duniawi)." Demikian ucap Sahl bin Abdullah at-Tustari (w. 283 H). Agaknya pengertian ini yang paling melekat di benak orang banyak, ketika terlontar kata "sufi" ke telinga mereka, secara spontan yang tergambar dalam benak dan pikiran mereka adalah, manusia yang berpakaian compang-camping, tubuh kurus kerempeng karena kurang makan, serta individu yang anti sosial.
Sedangkan orang yang memandang tasawuf dari sudut penghambaan diri (ta'abbudi) lebih condong memahami tasawuf sebagai "ibadah kepada Allah swt. semata; karena hanya Dia yang patut disembah (dan dipertuhan), tidak untuk mengharap surga-Nya lagi tidak didorong oleh rasa takut (akan nyala) api neraka." Pengertian ini terilhami ungkapan Rabi'ah al-Adawiyyah (w. 185 H) yang begitu populer:
"Ya Allah! Jika sekiranya aku beribadah kepada Engkau karena takut akan siksa neraka, maka campakkanlah aku ke dalam neraka-Mu!. Dan jika aku beribadah kepada Engkau karena mengharap akan masuk surga, maka haramkanlah aku daripadanya. Tetapi jika aku beribadah kepada-Mu semata-mata mengharapkan "wajah"-Mu, maka janganlah Engkau haramkan aku melihat (keindahan)-Nya."
Betapapun indahnya ungkapan-ungkapan yang berupaya mengais hakikat tasawuf di atas, tetap saja mutiara yang berada  jauh di dasar laut hanya menampakkan secercah kilauannya ke permukaan air. Demikian paparan almarhum Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq dalam buku Mausu'ah at-Tashawwuf al-Islami.