Mohon tunggu...
Fahrurozi Umi
Fahrurozi Umi Mohon Tunggu... Penulis - Alumni Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.

Penulis pernah menempuh pendidikan Sekolah Dasar di MI al-Khairiyyah, Panecekan. Dan melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama di Mts al-Khairiyyah, Panecekan. Kemudian meneruskan jenjang studi di Pondok Pesantren Modern Assa'adah, Cikeusal. Dan penulis lulus dari Universitas al-Azhar, Kairo pada tahun 2022.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memahami Makna Cinta dan Hukum Mencintai Nabi SAW

28 Agustus 2021   19:25 Diperbarui: 28 Agustus 2021   21:25 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut ar-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) mahabbah/cinta adalah menginginkan sesuatu yang kamu lihat atau kamu anggap baik.

Terkadang -tulis ar-Raghib- kata mahabbah/cinta ditafsirkan sebagai keinginan semata, seperti pada firman Allah swt.: "Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri." (QS. At-Taubah [9]: 108). Akan tetapi hakikatnya tidak seperti itu, karena cinta itu lebih dari sekedar keinginan -sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya-. Maka, setiap cinta pastilah sebuah keinginan, akan tetapi tidak setiap keinginan dapat dikatakan cinta. Demikian tulis ar-Raghib.

Dalam sebuah video, salah seorang juru dakwah kenamaan asal Mesir, syekh Mutawalli asy-Sya'rawi (w. 1998 M) pernah bertutur menerangkan definisi dari cinta. Menurutnya, "Cinta adalah kecenderungan hati terhadap sosok yang dicintai (mahbub). 

Kecenderungan yang dapat mengikat kemanfaatannya dengan kemanfaatanmu, dan kerugianmu dengan kerugiannya. Namun, -tutur asy-Sya'rawi- cinta memiliki dua fase/tingkatan. (pertama) cinta rasional (yakni, berdasar pada pembenaran akal), dan (yang kedua) cinta emosional (yang berlandaskan pembenaran rasa).

 Cinta rasional -lanjut ujar asy-Sya'rawi- ialah segala sesuatu yang kemanfaatannya ditentukan oleh akal pikiran, seperti cinta orang sakit pada obat yang pahit, ia tidak menyukai obat yang pahit itu dengan perasaannya, bahkan (dapat dikatakan) membencinya, namun, ia mencintai obat itu dengan (pembenaran) akalnya; karena ia adalah sebab kesembuhannya, inilah yang disebut dengan cinta yang berdasar pada pembenaran akal.

(Lebih dari itu, ada yang dinamakan) cinta emosional, ia tidak butuh pembenar dari akalnya, namun (ia mencintai dengan tulus dari perasaannya yang terdalam, seperti) ia (tetap) mencintai anaknya (sendiri) kendati ia bodoh." Demikian kurang lebih tutur asy-Sya'rawi.

Jauh dari apa yang saya tuliskan di atas, alangkah indahnya goresan tinta Ibnu Hazm al-Andalusi (w. 1064 M) tentang emosi yang satu ini. "Cinta, pada mulanya permainan, namun lambat laun akan menjadi suatu kesungguhan dan keteguhan. Cinta memiliki makna yang dalam, indah, dan agung. 

Tidak ada kata yang kuasa melukiskan keindahan dan keagungannya. Hakikat cinta tidak dapat ditemukan selain dengan segenap kesungguhan pengamatan dan penjiwaan. Cinta tidak dimusuhi Agama, juga tidak dilarang oleh syariat-Nya. Cinta adalah urusan hati, sementara hati adalah urusan Ilahi."

             Ar-Raghib membagi cinta menjadi tiga macam:

  • Cinta karena kenikmatan yang dirasakan, yakni seperti cintanya seorang laki-laki terhadap perempuan. Dan di antara penggunaan makna semacam ini dalam al-Qur'an adalah firman Allah swt.: "Dan mereka memberikan makanan yang ia sukai kepada orang miskin." (QS. Al-Insan [76]: 8).
  • Cinta karena manfaat yang diperoleh, seperti cinta terhadap sesuatu yang dapat diambil manfaatnya. Di antaranya firman Allah swt.: "Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya)." (QS. ash-Shaf [61]: 13).
  • Cinta karena keutamaan, seperti cinta para ahli ilmu satu sama lain karena ilmu yang dimiliki.

Layaknya udara segar yang menerpa jiwa, di tengah kepenulisan materi ini, sekelebat wajah guru saya Syekh Dr. Umar Hasyim -pakar hadis kenamaan Mesir- terlintas dalam benak saya seraya membisikkan beberapa poin yang pernah beliau sampaikan kala mengisi talaqqi/kajian kitab hadis mahakarya Imam Muslim bin Hajjaj di bawah langit-langit Masjid al-Azhar.

Berpagi-pagi, beliau menyampaikan sebuah hadis yang berbunyi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun