Urat syaraf ini rasanya sudah tidak bereaksi lagi dengan rasat kejut, acap kali -ketika hendak melakukan pengkajian hukum- benak saya dikunjungi oleh tamu yang tidak jemu berucap "Suatu hukum lahir dari sebuah definisi yang mengandungnya selama berbulan-bulan."Â
Memang benar adanya, hukum akan selalu mengekor pada definisi yang berjalan lurus ke depan. Contoh, jika seorang muslim bertamadun mendengar selintir kata dari seseorang -kala memperhatikan sebuah tumpukan kertas tebal yang berjilid- "Tumpukan kertas itu bertuliskan awal surah al-Hamd sampai akhir surah an-Nas"Â
Dapat dipastikan, melalui kata-kata yang merangkai suatu definisi ini, ia menghukumi bahwa tumpukan kertas berjilid itu adalah mushaf al-Qur'an, kitab suci umat muslim yang tidak boleh disentuh oleh seorang wanita yang sedang menstruasi.
 Atau seperti seorang muslim bertamadun yang mengamati seekor binatang menyusui, bermoncong panjang, berkulit tebal, berbulu kasar, berhidung lemper, serta pemakan daging dan tumbuhan. Sudah dapat dipastikan, ia akan memalingkan muka untuk tidak memakannya; karena hewan yang tepat berada di hadapannya itu adalah babi, di mana ia hukumi sebagai sesuatu yang haram dikonsumsi selagi masih tersedia unggas untuk ia santap.
  Dari kedua ilustrasi di atas dapatlah dipetik sebuah kesimpulan padu, bahwa mustahil seseorang menghukumi sesuatu itu halal atau haram tanpa diketahui terlebih dahulu objek yang dihalalkan atau yang diharamkan.
Oleh karena itu, sebelum melangkah jauh memaparkan uraian ulama menyangkut hukum mencintai baginda Nabi saw., saya akan menuliskan definisi dari kata "cinta" itu sendiri menurut para ahli.
Kata cinta dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti antara lain: Suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat, ingin sekali, berharap sekali, rindu, susah hati (khawatir), dan risau.
Salim Rusydi Cahyono menerangkan, kata mahabbah berasal dari akar kata yang tersusun dari huruf ha' dan ba'. Artinya adalah cinta (lawan benci).
Dalam bahasa Arab, emosi cinta menjelma menjadi varian kata, sebagaimana yang dituliskan secara rinci oleh Ibnu Manzhur dalam kamus Lisan al-'Arab, di antaranya:
- Al-Hawa': Kecenderungan jiwa/hati kepada sesuatu.
- Al-'Alaqah: Cinta yang melekat pada hati.
- Al-Kalaf: Ketertarikan hati terhadap sesuatu, disertai rasa nan menghimpit kalbu.
- Al-'Isyq: Cinta yang melampaui batas, dan paling buruk.
- Asy-Syaghaf: Cinta yang sedemikian tinggi hingga melampaui hati.
- Asy-Sya'af: Cinta yang teramat mendalam.
- Al-Jawa': Hawa batin, dan emosi yang memuncak.
- al-Junun: Cinta yang dapat menutupi akal sehat.
- Al-Wadd: Cinta suci, dan rasa yang terlembut.
- Dll.
Berangkai dengan varian kata cinta yang kesembilan di atas, Ibnu Faris (w. 395 H) menuliskan dalam kamusnya Maqaayis al-Lughah yaitu, kata yang terdiri dari huruf-huruf waw dan dal berganda mengandung arti cinta dan harapan.
Menurut ar-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) mahabbah/cinta adalah menginginkan sesuatu yang kamu lihat atau kamu anggap baik.
Terkadang -tulis ar-Raghib- kata mahabbah/cinta ditafsirkan sebagai keinginan semata, seperti pada firman Allah swt.: "Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri." (QS. At-Taubah [9]: 108). Akan tetapi hakikatnya tidak seperti itu, karena cinta itu lebih dari sekedar keinginan -sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya-. Maka, setiap cinta pastilah sebuah keinginan, akan tetapi tidak setiap keinginan dapat dikatakan cinta. Demikian tulis ar-Raghib.
Dalam sebuah video, salah seorang juru dakwah kenamaan asal Mesir, syekh Mutawalli asy-Sya'rawi (w. 1998 M) pernah bertutur menerangkan definisi dari cinta. Menurutnya, "Cinta adalah kecenderungan hati terhadap sosok yang dicintai (mahbub).Â
Kecenderungan yang dapat mengikat kemanfaatannya dengan kemanfaatanmu, dan kerugianmu dengan kerugiannya. Namun, -tutur asy-Sya'rawi- cinta memiliki dua fase/tingkatan. (pertama) cinta rasional (yakni, berdasar pada pembenaran akal), dan (yang kedua) cinta emosional (yang berlandaskan pembenaran rasa).
 Cinta rasional -lanjut ujar asy-Sya'rawi- ialah segala sesuatu yang kemanfaatannya ditentukan oleh akal pikiran, seperti cinta orang sakit pada obat yang pahit, ia tidak menyukai obat yang pahit itu dengan perasaannya, bahkan (dapat dikatakan) membencinya, namun, ia mencintai obat itu dengan (pembenaran) akalnya; karena ia adalah sebab kesembuhannya, inilah yang disebut dengan cinta yang berdasar pada pembenaran akal.
(Lebih dari itu, ada yang dinamakan) cinta emosional, ia tidak butuh pembenar dari akalnya, namun (ia mencintai dengan tulus dari perasaannya yang terdalam, seperti) ia (tetap) mencintai anaknya (sendiri) kendati ia bodoh." Demikian kurang lebih tutur asy-Sya'rawi.
Jauh dari apa yang saya tuliskan di atas, alangkah indahnya goresan tinta Ibnu Hazm al-Andalusi (w. 1064 M) tentang emosi yang satu ini. "Cinta, pada mulanya permainan, namun lambat laun akan menjadi suatu kesungguhan dan keteguhan. Cinta memiliki makna yang dalam, indah, dan agung.Â
Tidak ada kata yang kuasa melukiskan keindahan dan keagungannya. Hakikat cinta tidak dapat ditemukan selain dengan segenap kesungguhan pengamatan dan penjiwaan. Cinta tidak dimusuhi Agama, juga tidak dilarang oleh syariat-Nya. Cinta adalah urusan hati, sementara hati adalah urusan Ilahi."
       Ar-Raghib membagi cinta menjadi tiga macam:
- Cinta karena kenikmatan yang dirasakan, yakni seperti cintanya seorang laki-laki terhadap perempuan. Dan di antara penggunaan makna semacam ini dalam al-Qur'an adalah firman Allah swt.: "Dan mereka memberikan makanan yang ia sukai kepada orang miskin." (QS. Al-Insan [76]: 8).
- Cinta karena manfaat yang diperoleh, seperti cinta terhadap sesuatu yang dapat diambil manfaatnya. Di antaranya firman Allah swt.: "Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya)." (QS. ash-Shaf [61]: 13).
- Cinta karena keutamaan, seperti cinta para ahli ilmu satu sama lain karena ilmu yang dimiliki.
Layaknya udara segar yang menerpa jiwa, di tengah kepenulisan materi ini, sekelebat wajah guru saya Syekh Dr. Umar Hasyim -pakar hadis kenamaan Mesir- terlintas dalam benak saya seraya membisikkan beberapa poin yang pernah beliau sampaikan kala mengisi talaqqi/kajian kitab hadis mahakarya Imam Muslim bin Hajjaj di bawah langit-langit Masjid al-Azhar.
Berpagi-pagi, beliau menyampaikan sebuah hadis yang berbunyi:
       Dari Anas bin Malik ra. berkata: 'Rasulullah saw. bersabda: "Tidaklah beriman seorang salah seorang dari kalian, sampai aku menjadi orang yang paling dia cintai daripada anaknya, orangtuanya, dan manusia seluruhnya".' (HR. Muslim).
       Syekh Umar Hasyim mendefinisikan cinta secara global dengan, "kecondongan hati kepada sosok yang dicintai." Adapun maksud dari kata "cinta" pada hadis di atas bukanlah cinta secara tabiat, namun cinta secara pilihan (hubb al-ikhtiyar); karena cinta seseorang terhadap dirinya sendiri adalah tabiat, tidak mungkin ia membencinya.
       Syekh Umar juga lanjut menjelaskan, bahwa tiada cinta tanpa ketaatan, karena (pada dasarnya) cinta lah yang mendorong seseorang untuk menaati siapa yang ia cintai, serta menjauhi segala macam yang tidak ia sukai. Itulah cinta.
       Lantas, apakah seorang muslim yang belum -karena kata "tidak" terkesan memutus rantai kementakan- mencintai Nabi saw. dinyatakan tidak beriman, dalam artian keluar dari pagar pembatas Agama?
       Tidak! Sekali lagi saya tegaskan tidak! Karena Syekh Umar bertutur bahwa yang dimaksud dengan kalimat "Tidaklah beriman" ialah ketidaksempurnaan iman seseorang, bukan menafikan keimanan dalam hatinya secara keseluruhan.
       Beliau juga sedikit menyinggung tingkatan-tingkatan cinta kepada baginda Nabi saw. Dan rinciannya ditulis langsung oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim dengan mengutip pandangan Ibnu Baththal, al-Qadhi Iyadh, dll yang menyatakan bahwa cinta memiliki tiga macam: Pertama, cinta karena pengagungan dan penghormatan, seperti mencintai orang tua. Kedua, cinta kasih (syafaqah) dan sayang (rahmah), seperti mencintai anak. Dan ketiga, cinta karena adanya persamaan (musyakalah) dan menganggap baik sesuatu (istihsan), seperti mencintai orang lain. Cinta kepada Rasulullah saw. adalah dengan menghimpun ketiga-tiganya.
       Seirama dengan nada suara Syekh Umar di atas, Ibnu Baththal juga pernah berkata: "Makna hadis (di atas) adalah sempurnanya keimanan seseorang apabila ia mengetahui bahwa hak Nabi saw. lebih besar atas dirinya daripada hak ayahnya, anaknya, dan seluruh manusia. Karena beliaulah (pialang) kita (umat Muslim, sehingga) diselamatkan dari api neraka dan kesesatan."
Apa Hukum Mencintai Nabi saw.?
      Syekh Dr. Ali Jum'ah -mantan mufti Mesir- secara gamblang dan tanpa bertele-tele menegaskan bahwa hukum mencintai Nabi Muhammad saw. adalah wajib, ini berdasar pada dalil-dalil berikut:
- Firman Allah swt.: "Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri, dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin, kecuali kalau kamu hendak berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Demikianlah telah tertulis dalam Kitab (Allah)." (QS. Al-Ahzab [33]: 6).
- Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Maka demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya dan anaknya." (HR. Al-Bukhari)
- Abdullah bin Hisyam menuturkan: 'Kami pernah bersama Nabi saw. yang saat itu beliau menggandeng tangan Umar bin Khaththab, kemudian Umar berujar: 'Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala-galanya selain diriku sendiri.' Lantas Nabi saw. bersabda: "Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri." Maka Umar berujar: 'Sekarang demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku.' Maka Nabi saw. bersabda: "Sekarang (baru benar) wahai Umar".' (HR. Al-Bukhari).
- Dari Anas ra. mengatakan: 'Rasulullah saw. bersabda: "Ada tiga hal yang jika seseorang melaksanakannya, ia mendapati (merasakan) manisnya iman, (pertama) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, (kedua) ia mencintai seseorang dengan tiada dorongan selain karena Allah, dan (ketiga) benci kembali kepada kekafiran sebagaimana kebenciannya untuk dilempar ke neraka." (HR. Al-Bukhari).
Apa Tanda Kita Mencintai Nabi saw.?
      Menilik pertanyaan ini, saya jadi teringat rumus sederhana tentang cinta yang dikutip oleh Muhammad Quraish Shihab dalam buku Ensiklopedi al-Qur'an, yakni: "Siapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan banyak menyebutnya."
      Agaknya kalimat singkat di atas tidak cukup memenuhi dahaga saya -bahkan pembaca- yang begitu mencekik kerongkongan. Untuk itu, al-Qadhi Iyadh menambahkan: "Di antara tanda-tanda mencintai beliau adalah menolong sunahnya, membela syariatnya, dan mengharapkan kehadirannya sehigga ia mengorbankan harta dan jiwanya untuk beliau." -Allahu A'lam-
Daftar Rujukan:
- Ashi, Muhammad Salim Abu, Fahm Judzur al-Bayan li asy-Syaikh Ghazlan, Kairo: Maktabah al-Iman, t.t.
- Ibn Zakaria, Abu al-Husain Ahmad bin Faris, Mu'jam Maqayis al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr, 1399 H.
- Al-Ashfahani, ar-Raghib, Mufradat Alfazh al-Qur'an, Cet. IV, Damaskus: Dar al-Qalam, 2009.
- Manzhur, Ibnu, Lisan al-'Arab, Beirut: Dar Shadir, t.t.
- Bunduq, Shahba' Muhammad, al-Hubbu Kaifa Nafhamuhu wa Kaifa Numarisuhu, Cet. III, Kairo: Dar as-Salam, 2010.
- Tim Redaksi, Ensiklopedia al-Qur'an, Tangerang: Lentera Hati, 2007.
- Al-Andalusi, Ibnu Hazm, Thauq al-Hamamah fii al-Ulfah wa al-Ullaf, Cet. VII, Kairo: Dar al-Ma'arif, 2019.
- An-Nawawi, Muhyiddin, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, Cet. IV, Kairo: Dar al-Hadits, 2001.
- Jum'ah, Ali, 'Aqidah Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah, Cet. I, Kairo: al-Muqaththam, 2011.
- https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/cinta
- https://www.youtube.com/watch?v=nlOSAchbY9M&t=17s
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H