Sama halnya ketika seorang laki-laki yang sudah berumur 60 tahun kawin dengan seorang wanita yang baru berusia 17 tahun atau nenek-nenek yang sudah berusia lebih dari 70 tahun kawin dengan laki-laki yang berusia 20 tahun, masyarakat kurang menerima baik perkawinan seperti ini, bahkan menolak perkawinan mereka. Akan tetap, menurut pandangan syariat, perkawinan mereka adalah sah selama syarat dan rukunnya terpenuhi.
3. Pendapat Para Ulama Menyangkut Hukum Kawin Misyar
Muhammad Syahrur berpendapat bahwasannya Islam membolehkan seorang laki-laki menyalurkan hasrat seksualnya kepada dua tipe perempuan sebagaimana firman-Nya: "Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau ma malakat aiman merek; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas." (QS. Al-Mu'minun [23]: 5-7).
Ayat di atas menjelaskan bahwa tipe perempuan yang boleh untuk disetubuhi ada dua: pertama adalah istri yang dinikahi melalui perkawinan normal, dan yang kedua adalah milk al-yamin, dan salah satu bentuk dari milk al-yamin adalah kawin misyar. (Lihat: Muhammad Syahrur, Nahw Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, Fiqh al-Mar'ah, al-Ahali, Damaskus, 2000, cet: I, hlm. 308).
Adapun mengenai pendapat para ulama, seperti yang telah diketahui di dalam literasi hukum mereka dalam menghadapi berbagai permasalahan baru selalu berbeda pendapat, akan tetapi Dr. Yusuf al-Qardhawi lebih condong untuk memperbolehkan model perkawinan ini (misyar).
Di akhir bulan Dzulhijjah tahun 1418 H atau akhir April tahun 1998 M, di Dauhah diadakan seminar seputar permasalahan zakat kontemporer. Di situ hadir lebih dari dua puluh pakar fikih dari seluruh penjuru dunia. Di sela-sela seminar, mereka berbincang-bincang mengenai persoalan kawin misyar. Sebahagian besar dari mereka mendukung dilaksanakannya kawin misyar. Namun hanya ada dua atau tiga yang menentang, meskipun tidak sampai mengharamkan nikah ini.
Ketidaksetujuan mereka terhadap dilaksanakannya praktik kawin misyar merupakan bentuk dari kekhawatiran. Menurut mereka boleh jadi kawin semacam ini akan menyebabkan kehancuran dalam masyarakat. Maka sebelum terjadi hal-lah yang tidak diinginkan, meniadakannya adalah lebih baik (afdhal).
Dapat diambil kesimpulan bahwa pada hukum kawin ini (misyar) adalah boleh (mubah), tetapi sesuatu yang mubah kalau dikhawatirkan akan menyebabkan kesusahan dan kerusakan, maka mencegahnya bisa berubah menjadi perkara yang wajib atau minimal sunnah. Dan hukumnya disesuaikan dengan kadar kesusahannya yang ditimbulkan. (Lihat: Yusuf al-Qardhawi, Fatawa Mu'ashirah, Dar al-Qalam, Kuwait, 2017, jilid. 3, hlm. 411-412).
Orang yang menentang kawin ini mengatakan: "Apabila dihalalkan kawin ini hanya sebagai solusi bagi orang-orang kaya yang terlambat melaksanakan kawin, bagaimana dengan orang-orang miskin yang tidak mampu melangsungkan pernikahan?"
Al-Qadhawi pun menjawab: "Ketidakmampuan kita dalam menangani suatu persoalan, tidak mengharuskan kita untuk tidak berbuat sama sekali, serta tidak berusaha mencari solusi berikutnya".
Kemudian ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa kenapa kita tidak mencari solusi, langsung ke akarnya saja, yaitu dengan cara mempermudah dilaksanakannya perkawinan biasa/normal yang sesuai dengan syariat Islam. Dengan cara ini alasan tidak dilaksanakannya kawin karena terhalang dengan mahalnya mahar dapat diminimalisir, atau kita menetapkan keringanan pemberian mahar (pemberian dari seorang calon suami kepada calon isterinya), serta melonggarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan Allah swt. dalam memilih pasangan hidup (dari segi Agamanya, akhlaknya dan lain sebagainya).