Rukun dalam perkawinan ini biasanya harus memenuhi rukun dalam pernikahan normal yaitu, ijab-kabul (akad) yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hak untuk melaksanakannya.
Di samping itu, ijab dan kabul diharapkan dapat diketahui oleh khalayak ramai agar dapat dibedakan antara kawin yang dilaksanakan secara sah dan zina atau hubungan gelap.
Dalam hal pengiklanan atau pemberitahuan kepada khalayak ramai, Agama telah memberikan batasan minimum, yaitu adanya dua orang saksi dan wali (menurut pendapat imam Malik, imam Syafi'i, dan imam Ahmad).
Yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah masa perkawinan tidak boleh dibatasi dengan waktu serta kedua mempelai harus mempunyai niat untuk melanggengkan pernikahan mereka.
Kemudian seorang lelaki harus membayar maskawin, baik dalam jumlah yang banyak maupun sedikit, meskipun setelah maskawin tersebut diserahkan kepada calon istrinya, boleh si istri menyerahkan kembali (tanazul) sebagian dari maskawin itu atau bahkan keseluruhannya, sesuai dengan firman Allah swt.:
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi), sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (QS. an-Nisa' [4]: 4).
Adapun ketika dilaksanakannya akad nikah, seorang wanita memberikan keringanan, yaitu dengan tidak meminta hak-haknya kecuali hak bersenggama, syarat seperti ini menurut sebahagian ulama tidak diperbolehkan ketika akad berlangsung; karena dapat menghilangkan tujuan dilaksanakannya nikah dan pernikahannya pun batal. Tapi sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyyah menilai akad tersebut sah.
Bahkan syekh Taqiyuddin -atau populer disebut Ibnu Taimiyyah- mempunyai pendapat tentang sahnya syarat untuk tidak memberi nafkah lahir. Ia berkata, "Seumpama seorang suami kesulitan ekonomi dan sang istri menerima hal itu, maka si istri tidak mempunyai hak untuk diberi nafkah."Â (Lihat: Yusuf al-Qardhawi, Fatawa Mu'ashirah, Dar al-Qalam, Kuwait, 2017, jilid. 3, hlm. 409-410).
2. Justifikasi Hukum Kawin Misyar
Sebelum membahas mengenaihukum kawin misyar saya ingin mendudukkan suatu permasalahan yang sangat penting. Terkadang ditemukan perkawinan menurut pandangan syariat, tetapi tidak diterima oleh masyarakat seperti kawin misyar ini.
Contoh lain, seorang perempuan kawin dengan supirnya atau pembantunya. Menurut pandangan masyarakat, perkawinan ini adalah tidak etis dan kurang layak untuk dilakukan. Mereka tidak menerima kejadian semacam ini, karena menurutnya hal semacam ini dapat menyebabkan turunnya kredibilitas dan harga diri wanita tersebut, sedangkan menurut syariat, nikah semacam ini hukumnya tetap sah dan tidak ada larangan.