"Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang muryrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agama mereka) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata." (QS. AI Bayyinah: 1).
"Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabiin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan memberikan keputusan di antara mereka pada hari kiamat...". (QS. Al Hajj: I7).
Dalam dua ayat tersebut Allah menjadikan orang-orang musyrik sebagai kelompok tersendiri yang berbeda dengan kelompok lain, dan yang dimaksud dengan al-Kawaafir/perempuan-perempuan kafir dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 adalah wanita-wanita musyrik, sebagaimana ditunjukkan dalam konteks surat.
Beberapa Ketentuan yang Wajib Dipelihara ketika Menggauli Wanita Ahli Kitab
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa pendapat yang paling kuat mengenai hukum mengawini wanita Ahli Kitab asalnya mubah/boleh. Tujuannya untuk menimbulkan keinginannya memeluk Islam, mendekatkan hubungan antara umat Islam dan AhIi Kitab, dan melonggarkan sikap toleransi serta pergaulan yang baik antara kedua golongan tersebut.
Akan tetapi hukum pokok ini terikat dengan beberapa ketentuan yang tidak boleh dilupakan, yaitu:
1. Harus dapat dipercaya keadaannya sebagai wanita Ahli Kitab, yakni beriman kepada agama samawi yang asli, seperti yahudi dan Nasrani. Artinya, secara garis besar dia beriman kepada Allah, beriman kepada kerasulan (rasul), dan beriman kepada hari akhir, bukan orang atheis atau murtad dari agamanya, dan bukan pula orang yang beriman kepada suatu agama yang tidak mempunyai hubungan dengan langit sebagaimana yang sudah terkenal.
Sudah dimaklumi bahwa di negara-negara Barat sekarang belum tentu setiap wanita yang dilahirkan dari kedua orang tua Nasrani pasti beragama Nasrani, dan tidak setiap orang yang hidup di lingkungan Masehi pasti beragama Masehi. Boleh jadi ia adalah orang komunis materialis, atau mengikuti aliran yang sama sekali tertolak menurut pandangan Islam, seperti Bahaiyah dan sebagainya.
2. Wanita tersebut adalah yang menjaga kehormatannya, karena Allah tidak memperbolehkan kawin dengan sembarang wanita Ahli Kitab. Bahkan dalam ayat yang memperbolehkan kawin dengan wanita Ahli Kitab itu sendiri disyaratkan yang menjaga kehormatannya. Firman-Nya: "... Dan (dihalalkan kamu mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu ...." (QS. Al-Maaidah: 5)
Ibnu Katsir berkata, "Pada dasarnya, yang dimaksud dengan al-Muhshanat ialah wanita-wanita yang menjaga diri dari perbuatan zina, sebagaimana disebutkan dalam ayat lain:
"... wanita-wanita yang memelihan diri, bukan pezina dan bukan pula wanita-wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya..." (an-Nisa': 25).