Kepindahan para pedagang ini membuat Aceh menjadi sangat kosmopolitan, berikut juga sistem politik kedatuan yang kemudian di anut oleh pemimpinnya yang digelari sebagai Sultan.Â
Dalam dialek lokal orang Aceh, kedatuan dikenal sebagai indatu yang bersinonim dengan istilah leluhur alias nenek moyang. Sultan Aceh sejak abad ke 16 itu dipandang sebagai wali alias pelindung bagi kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Semenanjung Melayu yang mengakui kedatuannya.
Oleh sebab itu pula ketika pelaut Inggris yang dipimpin oleh James Lancester tiba di Bandar Aceh pada tahun 1602, dengan cerdiknya berhasil merayu Sultan untuk memberikan restu secara tertulis bagi dirinya untuk berlayar menyusuri selatan Samudera Hindia menuju Pariaman hingga Banten.Â
Ternyata ketibaan mereka di Pariaman memang mendapatkan sambutan baik dari penguasa setempat karena memang Raja Pariaman memandang Sultan Aceh sebagai abang tertuanya sekaligus sebagai walinya.
Begitu pula ketika di Banten, penguasa Banten ketika itu memandang Sultan Aceh sebagai teman baiknya sehingga mengizinkan orang Inggris membangun gudang serta menempatkan delapan orang staf permanen di pelabuhan Banten.Â
Tak sampai hanya disitu bahkan penduduk lokal yang terbukti mengganggu orang Inggris atau pun kedapatan mencuri di gudang mereka akan dihukum berat oleh prajurit Banten yang ikut melindungi pedagang Inggris itu.
Berbeda halnya dengan orang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman, akibat sikap angkuhnya dia gagal mendapatkan restu dari Sultan Aceh sehingga ditolak untuk berdagang disana.Â
Begitu pun ketika de Houtman tiba di Banten, bukannya menyadari kesalahannya malah dia membombardir pelabuhan dan istana raja akibat kekesalannya pada penolakan mereka.Â
Akibatnya, satu pleton jawara Tanah Jawa yang mengintainya sejak dari Banten berhasil menaiki kapalnya ketika menyusuri Selat Madura, disitu orang Belanda terkejut ketika menyadari belasan kawan mereka tewas ditetak dalam kegelapan malam.
Namun sistem kedatuan yang diteruskan oleh Kesultanan Aceh itu akhirnya mendapatkan ujian besar ketika Belanda menerapkan strategi politik pecah belah alias devide et impera.Â
Ketika sosok sentral yang hendak dituakan pada kenyataannya tak memiliki kapabilitas maka pudarlah wibawa kedatuan, ditambah lagi hasutan kekuatan asing yang hendak menguasi ekonomi dan perdagangan.