8 Agustus merupakan hari dimana tokoh-tokoh besar Asia Tenggara yaitu: Adam Malik (Indonesia), Narsisco Ramos (Filipina), Tun Abdul Razak (Malaysia), S. Rajaratnam (Singapura), dan Thanat Khoman (Thailand) menandatangani sebuah deklarasi pendirian Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara di Bangkok yang isinya bertujuan untuk:
- Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan perkembangan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara;
- Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional;
- Meningkatkan kerja sama dan saling membantu untuk kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan, dan administrasi;
- Memelihara kerja sama yang erat di tengah-tengah organisasi regional dan internasional yang ada;
- Meningkatkan kerja sama untuk memajukan pendidikan, latihan, dan penelitian di kawasan Asia Tenggara.
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara kemudian lebih dikenal sebagai ASEAN (Association of Southeast Asian Nations)
Mungkin saja sedikit menjadi perhatian kita saat ini, anak cucu dari segenap suku bangsa yang telah mendiami sudut paling tenggara dari benua Asia, bahwa nenek moyang kita memang sudah pernah bersama-sama berusaha menyatukan segala kekuatan di Asia Tenggara dalam sebuah entitas geo-politik dan ekonomi jauh sebelum Perang Dunia terjadi.
Syahdan, para sejarawan telah berhasil mengungkap fakta masa silam bahwa para tetua bangsa Melayu kuno sepakat menyatukan diri dalam satu perserikatan kerajaan-kerajaan, yang tujuannya adalah untuk bertahan dari ancaman invasi bangsa asing pada tahun 536 Masehi. Hal ini tak terlepas dari meletusnya Gunung Krakatau pada tahun sebelumnya, letusan yang berlangsung beberapa hari telah membuat langit dunia menjadi gelap. Bahkan awan hitam dari Krakatau saat itu diperkirakan menjangkau Timur Tengah, selama 18 bulan pada tahun 535-536 matahari hanya terlihat samar-samar selama empat jam.
Perserikatan kerajaan-kerajaan yang dimaksud itulah yang kemudian kita kenal dengan Sriwijaya, dimana sistem politik yang berlaku adalah sistem kedatuan. Sebenarnya dalam sistem kedatuan, Penguasa Sriwijaya bukan diposisikan layaknya seorang kaisar atau maharaja, namun sebagai pemimpin kolasi dari wilayah-wilayah (mandala) yang dipimpin oleh para raja atau tetua atau pun pemuka agama yang otonom dan memiliki privasi.
Seluruh pemimpin mandala mengakui keberadaan penguasa Sriwijaya sebagai saudara tertua (kedatuan) mereka, tempat dimana segala perselisihan dimintai keputusannya, dan dimintai persetujuannya ketika hendak menobatkan raja atau tetua ataupun pemuka agama sebagai pemimpin baru bagi sebuah mandala. Pengakuan akan kedatuannya mencakup wilayah Ligor (Thailand), Semenanjung Melayu (Malaysia-Singapura), Kota Kapur (Bangka), Jambi, dan Lampung.
Selama 500 tahun lebih kedatuan Sriwijaya bertahan memimpin pelayaran dan perdagangan, yang kemudian mewariskan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu suku bangsa di Asia Tenggara. Bahkan penjelajah Eropa pada abad ke 15 bersusah payah mempelajari bahasa Melayu agar dapat mudah mendapatkan rempah-rempah di Kepulauan Banda, Maluku.
Hilangnya Sriwijaya pada tahun 1200an tidak lantas menjadikan sistem politik kedatuan turut sirna, namun tetap bertahan setidaknya hingga abad ke 19. Paska keruntuhannya akibat kekalahan menghadapi serbuan India, para pembesar dan pewaris tahta Sriwijaya yang selamat bermukim di Malaka, sebuah kota pelabuhan di Malaysia sekarang. Disana mereka berhasil membangun kembali kebesaran pelayarannya hingga menjadikan Malaka sebagai pusat grosir rempah-rempah dari Maluku sebelum dikapalkan ke Teluk Persia melalui India menuju Turki kemudian Venesia.
Akibat ketamakan para pedagang Venesia dalam mengambil keuntungan dari harga rempah-rempah, akhirnya muncul kekuatan baru yaitu Portugis yang hendak memetik langsung pala dan cengkih dari pohonnya. Pada tahun 1511, Portugis berinvasi ke Malaka dan berhasil meruntuhkan kerajaan pewaris kedatuan Sriwijaya tersebut.
 Secara milter Portugis memang berhasil namun secara ekonomi ternyata invasi tersebut merupakan punca kegagalannya dalam perdagangan rempah-rempah Asia Tenggara.
Alih-alih berdagang dengan Portugis, para pedagang Melayu, Jawa, bahkan orang Arab dan India lebih memilih memindahkan gudang-gudangnya dari Malaka ke Bandar Aceh.Â