Menurutnya Umat Islam harus menciptakan masyarakat adil makmur, tidak saja secara material namun juga spiritual. Ketika Umat Islam menjalankan agamanya dengan benar, tidak ada negara manapun yang bisa menjajah.
Artinya, Lafran Pane memiliki gagasan bahwa Islam adalah alat perubahan sosial, tidak sebatas instrument peribadatan belaka. Karena itulah perlu wadah untuk menjalankan transformasi itu, salah satunya lewat HMI.
Lokomotif HMI
Gagasan tentang pembaharuan Islam memang kuat di awal abad ke-20, apalagi setelah lahirnya Muhammadiyah (1912) dan HMI (1947).
Kemiripan gagasan antara keduanya membuat masyarakat mengidentifikasikan HMI adalah Muhammadiyah, terlebih ketika lahir Masyumi sebagai wadah aspirasi politik Umat Islam Indonesia kala itu.
Padahal antara Muhammadiyah dan HMI tidak berkait apapun secara struktur, karena Muhammadiyah sendiri kemudian memiliki Organisasi Otonom (Ortom) yaitu Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (1964).
Meski demikian, banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah yang berafiliasi dengan HMI ketika mahasiswa, terutama mereka yang kuliah di kampus negeri.
Kecocokan cara pandang itulah yang menjadikan mereka bergabung dengan HMI, apalagi setelah tahu jika pendirinya juga berlatar belakang Muhammadiyah.
HMI kemudian berkembang menjadi organisasi yang besar dan inklusif dan memiliki korps alumni yang kuat yaitu KAHMI.
HMI yang awalnya identik dengan Muhammadiyah pun kini begitu Hybrid, banyak elemen bisa masuk ke HMI meski dengan mainstream gerakan pembaharuan yang tak jauh berbeda.
Salah satu tokohnya yaitu Nurcholish Madjid, yang berlatar belakang NU, punya mainstream berpikir progresif sehingga kerap bersanding satu forum dengan Ahmad Syafii Maarif, ketua umum PP Muhammadiyah (1998-2005).