Mohon tunggu...
Fahriza Mutiara Adhyaksa
Fahriza Mutiara Adhyaksa Mohon Tunggu... Lainnya - Selamat membaca.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika Nyawa Pasien Gawat Darurat Diabaikan

7 Desember 2020   19:00 Diperbarui: 7 Desember 2020   19:12 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap manusia berhak mendapatkan hak atas kesehatan yang baik. Hak atas kesehatan menganut dua unsur penting yaitu keberkahan (entitlements) dan kebebasan (freedom). Hak atas kesehatan yang menyangkut kebebasan dalam hal ini setiap orang berhak untuk mengontrol tubuh, kondisi kesehatannya, serta terbebas dari gangguan, ancaman, dan campur tangan dari negara maupun orang ketiga.

Kemudian, keberkahan dalam hak atas kesehatan merupakan perwujudan dari diberikannya hak kepada setiap orang untuk mendapatkan layanan kesehatan yang baik, tidak diskriminatif, dan menjunjung tinggi asas kesetaraan mendapatkan kesempatan yang sama.

Untuk memenuhi kewajiban tanggung jawab dua hal diatas, maka negara diwajibkan untuk melakukan pemenuhan hak asasi manusia dalam bidang kesehatan yang baik. Negara membutuhkan dasar hukum yang menjadi pedoman untuk dapat mengimplementasikan pemenuhan kebutuhan hak atas kesehatan masyarakat yang baik.

Terdapat beberapa dasar hukum internasional dan nasional yang menjadi pedoman terkait hak atas kesehatan  yaitu:
(1) International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) 1965, Article 5: “Setiap orang berhak mendapat Hak atas kesehatan publik, perawatan medis, jaminan sosial dan layanan sosial”.
(2) Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 34 ayat 3 : “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
(3) Undang-Undang (UU) No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Pasal 4 & 5) : “Setiap orang berhak atas kesehatan” & “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan, serta memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau dan juga setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”.

Empat prinsip dasar yang dimiliki oleh hak atas kesehatan yaitu ketersediaan, keterjangkauan, keberterimaan, dan kualitas (United Nations, General Comment No. 14 tahun 2000). Dewasa kini, masih banyak ditemukan kasus di Indonesia mengenai tidak terpenuhinya empat prinsip dasar hak atas kesehatan tersebut.

Pada kesempatan ini penulis akan mengulas lebih dalam mengenai bagaimana tinjauan hukum bagi Rumah Sakit yang menolak pasien yang mengalami keadaan gawat darurat. Rumah Sakit merupakan salah satu sarana masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan.

Ketika dihadapkan pada saat keadaan gawat darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik dari Rumah Sakit pemerintah maupun swasta dilarang untuk menolak dan meminta uang muka pada pasien. Fakta di lapangan memberikan gambaran bahwa masih terjadi ketimpangan dan ketidakadilan bagi pasien yang sedang dalam keadaan gawat darurat dan harus mengalami penolakan dari Rumah Sakit dengan berbagai alasan.

Gawat darurat didefinisikan dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yaitu keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut.

Dilansir dalam (BBC 2013), salah satu kasus penolakan pasien di rumah sakit saat sedang mengalami keadaan gawat darurat adalah Dera Nur Anggraini, seorang bayi berumur 6 hari yang mengalami gangguan pada pencernaannya.

Tidak hanya mendapatkan penanganan yang lambat, tapi juga keterbatasan rumah sakit memiliki NICU (Neonatal Intensive Care Unit). NICU adalah fasilitas intensif untuk bayi prematur, atau untuk bayi yang memerlukan penangan khusus. Bayi Dera Nur Anggraini lahir di Rumah sakit Zahira, akan tetapi karena tidak memiliki fasilitas NICU kemudian orang tua bayi tersebut berupaya keras mencari rumah sakit lain yang memilikinya sehingga dapat menjadi tempat rujukan.

Diberitakan (Metro Tempo 2013), sepuluh rumah sakit sudah dikunjungi oleh ayah bayi tersebut akan tetapi semuanya menolak dengan berbagai alasan mulai dari fasilitas yang diminta tidak ada, ruangan penuh, tidak ada Kartu Jakarta Sehat, dan diharuskan membayar uang muka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun