Mohon tunggu...
Fahri Dwi Ananta
Fahri Dwi Ananta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik UI

Memiliki ketertarikan terhadap isu sosial-masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Eksil 2024: Menelusuri Jejak Hantu Komunisme dan Keterkaitannya dengan Marxisme-Komunisme

18 Juni 2024   15:27 Diperbarui: 18 Juni 2024   15:37 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dua Puluh enam tahun telah berlalu sejak kejatuhan Soeharto, tetapi kebencian dan ketakutan akan komunisme yang sejak dulu ditanamkan pemerintah Orde Baru masih menjangkiti banyak masyarakat Indonesia. Banyak media populer menyebut istilah ini sebagai "Hantu Komunisme". Di Indonesia komunisme digambarkan sebagai hantu yang menyeramkan dan mengancam. Walaupun "demam" komunisme di seluruh dunia sudah reda, dan negara-negara yang menganut "agama" demokratis sudah tidak menganggap komunisme sebagai suatu ancaman. 

Namun, di Indonesia justru sebaliknya. Komunisme masih dianggap sebagai "hantu" yang suatu saat akan menampakkan dirinya. Ketakutan tersebut membuat komunisme dan orang-orang terkait didalamnya menjadi ditakuti, dikucilkan bahkan dilarang hidup normal di Indonesia.  

Ironisnya, mereka yang  takut terhadap hantu komunisme justru mereka pula yang memproduksi ketakutan tersebut.Pun ketakutan-ketakutan tersebut dapat dikatakan sebagai ketakutan yang absurd, karena seringkali hal yang mereka takuti adalah kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka tidak bisa membedakan, mana sebuah partai dan mana yang sebuah gagasan atau ideologi. Mereka hanya takut pada simbol dan partai. Ketakutan buta.

Untuk memahami jejak hantu komunis, kita bisa melihatnya melalui teori hegemoni dari Antonio Gramsci. Hegemoni adalah dominasi satu kelompok sosial yang tercapai bukan hanya dengan kekuatan fisik, tetapi juga dengan persetujuan ideologis, di mana nilai dan keyakinan kelompok penguasa diterima oleh masyarakat luas sebagai sesuatu yang normal. 

Menurut Gramsci, hegemoni adalah cara negara menguasai masyarakat dengan ideologi untuk menjaga kekuasaannya, atau cara partai mengorganisir kepentingan masyarakat dan meningkatkan kesadaran politik serta revolusi di antara orang-orang yang tertindas. Hegemoni adalah hubungan antara kelas dan kekuatan sosial lainnya. 

Kelas hegemonik adalah kelas yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial lain dengan menciptakan dan menjaga aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis. Di Indonesia, pemerintah Orde Baru menggunakan hegemoni ini dengan propaganda anti-komunis untuk menciptakan dan memelihara ketakutan terhadap komunisme. Dengan demikian, mereka dapat menjaga kontrol sosial dan politik dengan menciptakan musuh bersama yang terus-menerus menakut-nakuti masyarakat.

Memang tak dapat dipungkiri, ketakutan yang berdiri di atas ketidaktahuan ini menjadi penyakit jangka panjang yang menjangkiti masyarakat Indonesia. Diskusi terkait Marxisme komunisme sudah lama dimatikan. Ia hanya terdengar di perbincangan akademis secara terbatas sehingga kurang membumi di kalangan masyarakat. Dengan keadaan seperti itu, muncul banyak suara-suara dalam bentuk karya seni, salah satunya yang kini muncul adalah Film Eksil. 

Film yang diproduseri dan disutradarai oleh Lola Amaria ini mulai tayang di bioskop pada 1 Februari 2024. Film ini menceritakan dampak peristiwa 1965. Eksil secara kolektif mengumpulkan memori 10 orang para eksil atau mereka yang diasingkan di luar negeri karena dicap terkait dengan Partai Komunis Indonesia oleh Orde Baru. 

Mereka semula adalah pemuda-pemuda Indonesia yang mendapatkan beasiswa oleh pemerintah semasa pemerintahan Presiden Soekarno ke sejumlah negara, seperti Uni Soviet dan China. Mereka dipersiapkan Presiden Sukarno yang sudah berpikir visioner terhadap nasib bangsa yang masih seumur jagung kala itu. Mereka menjadi 'cetak biru' Presiden Sukarno yang sudah dipersiapkan dengan baik.

Sayangnya, peristiwa G30S terjadi dan imbasnya mengubah segalanya. Hal tersebut juga diikuti dampak setelahnya yaitu naiknya Soeharto sebagai Presiden menggantikan Soekarno. Di titik inilah lahir sebuah era baru yang disebut Orde Baru. Pada waktu itu, mereka yang dicap dan dituduh tanpa ada indikator yang jelas dianggap sebagai bagian dari Partai Komunisme Indonesia. 

Mereka yang tadinya dikirim belajar ke luar negeri akhirnya justru terdampar di negara orang, putus interaksi dari semua yang mereka cintai di tanah air, bekerja serabutan alih-alih memiliki masa depan yang menjanjikan. Ironisnya hal ini tidak terjadi hanya beberapa tahun saja, tetapi juga dalam skala dekade. 

Situasi politik pada masa itu memang sangat rumit, banyak ketidakpastian. Dinamika politik yang terjadi akibat adanya transisi kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto membawa banyak gejolak politik. Kejadian setelah transisi kekuasaan dan penumpasan G30S justru menjadi dampak yang sangat mematikan, ia menjadi salah satu catatan berdarah paling tragis sepanjang sejarah Indonesia.

Penindasan dan pembantaian massal terhadap mereka yang menjadi bagian dan dianggap Partai Komunis Indonesia dilakukan habis-habisan oleh negara. Mereka yang berada di luar negeri pun juga tetap terkena imbasnya, seperti yang sudah saya katakan di awal bahwa banyak dari mereka yang dikirim belajar ke luar negeri oleh Soekarno justru terperangkap di negeri orang. Mereka mengalami kondisi yang sangat memprihatinkan selama tahun-tahun pertama di pengasingan. 

Para pelajar dan mahasiswa mengalami kehilangan sumber pendanaan karena beasiswa mereka diputus oleh pemerintah di Jakarta. Selain itu, status kewarganegaraan mereka dicabut, yang membuat mobilitas mereka menjadi sangat terbatas. Para mahasiswa yang terasingkan di luar negeri mungkin mengalami kesulitan dalam menjaga komunikasi dengan keluarga di Indonesia karena keterbatasan akses komunikasi pada masa itu. Isolasi sosial dan emosional mungkin terjadi karena minimnya fasilitas telekomunikasi internasional (Suradi dkk, 2023). 

Kondisi hukum para mahasiswa terasingkan di negara asing juga menjadi permasalahan serius. Mereka mungkin tidak memiliki status hukum yang jelas di negara tempat mereka tinggal, sehingga rentan terhadap berbagai masalah administratif, keamanan, dan kesejahteraan. Tanpa status hukum yang jelas, para mahasiswa tersebut mungkin tidak memiliki akses yang sama terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, atau perlindungan hukum (Suradi dkk, 2023)

Analisis terhadap dampak peristiwa 1965 terhadap eksil para mahasiswa Indonesia ke luar negeri secara terkait dengan teori Marxisme-Komunisme menyoroti aspek penting dalam pemahaman dinamika politik dan sosial pada masa itu. Marxisme-Komunisme, sebagai sebuah ideologi politik dan ekonomi, memiliki relevansi yang signifikan dalam konteks peristiwa 1965 dan konsekuensinya terhadap eksil para mahasiswa. 

Marxisme-Komunisme, yang dipelajari dan diterapkan oleh beberapa mahasiswa Indonesia yang dikirim ke luar negeri, menjadi satu dari banyak alasan yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk menjustifikasi penindasan terhadap mereka. Pemerintah melabeli mereka sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), sebuah organisasi yang dianggap sebagai ancaman bagi pemerintahan yang baru berkuasa. 

Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua mahasiswa yang dikirim ke luar negeri memiliki afiliasi atau kesetiaan terhadap Marxisme-Komunisme. Banyak dari mereka hanya menjalani studi yang tidak terkait dengan politik atau ideologi tertentu.

Dari perspektif Marxisme-Komunisme, peristiwa 1965 dan pengasingan para mahasiswa dapat dianalisis sebagai konflik kelas antara kelas buruh dan kapitalis, yang pada kasus ini direpresentasikan oleh pemerintah Orde Baru yang didukung oleh golongan elit dan kapitalis. Pemerintah Orde Baru mengambil langkah-langkah represif untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada, yang dianggap sebagai bentuk kontrol terhadap proletar. 

Ketika mahasiswa-mahasiswa yang dikirim ke luar negeri sebagai bagian dari upaya pembangunan nasional oleh Presiden Soekarno menjadi korban penindasan politik oleh pemerintah Orde Baru, hal ini mencerminkan pertentangan antara kepentingan negara dengan kepentingan kelas.

Pemerintah Orde Baru berusaha untuk mengeliminasi segala bentuk oposisi politik, termasuk mereka yang dianggap terkait dengan ideologi Marxisme-Komunisme, untuk mempertahankan hegemoni politik dan ekonomi mereka. Namun, dampak dari pengasingan tersebut juga menyoroti kegagalan pemerintah dalam memahami dan mengelola isu-isu sosial dan politik secara holistik. 

Tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi para mahasiswa yang terkena dampaknya, tetapi juga merusak potensi pembangunan nasional. Pengasingan mereka menghambat akses mereka terhadap pendidikan dan pelatihan, yang pada gilirannya dapat menghambat perkembangan intelektual dan ekonomi bangsa.

Dalam konteks ini, film "Eksil" menjadi suatu medium yang penting dalam mengungkapkan dan menggambarkan kompleksitas peristiwa 1965 dan dampaknya terhadap para eksil. Melalui narasi film ini, masyarakat dihadapkan pada refleksi tentang pentingnya memahami sejarah secara utuh dan mengatasi ketakutan dan stigmatisasi terhadap ideologi Marxisme-Komunisme. 

Terakhir, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada para eksil yang bersedia bercerita dan mengenang kembali rasa sakit mereka dalam Eksil: Alm. Asahan Aidit, Alm. Chalik Hamid, Alm. Kusian Budiman, Alm. Sardjio Mintardjo, Hartoni Ubes, I Gede Arka, Kartaprawira, Sarmadji, Tom Iljas, Waruno Mahdi. Semoga mereka mendapat kedamaian ditempat abadi dan panjang umur bagi tiap perjuangan bagi para eksil dan kita semua yang masih hidup untuk selalu memiliki rasa cintah tanah air meski mendapat ketidakadilan dari negeri sendiri.

Referensi:

Amaria, Lola. (2022). Eksil. [Film]. Lola Amaria Production

Callinicos, Alex, et.al. (2021). Routledge Handbook of Marxism and Post-Marxism. New
York: Routledge.


Gramsci, Antonio, 2000. Sejarah dan Budaya, Surabaya, Pustaka Promethea.

Siswati, E. (2017). Anatomi Teori Hegemoni Antonio Gramsci. Translitera: Jurnal Kajian
Komunikasi Dan Studi Media.

Suradi, S., Safrudiningsih, S., & Sjailendra, S. (2023). Dilema Eksil: Tetap di Luar Negeri
atau Pulang ke Tanah Air. Journal Visioner: Journal of Media and Art.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun