Mohon tunggu...
Fahran Fahlevi
Fahran Fahlevi Mohon Tunggu... -

Lelaki penikmat puisi-puisi Wiji Thukul

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sudahkah BBM Menyejahterakan Rakyat Indonesia?

16 Maret 2016   18:12 Diperbarui: 16 Maret 2016   18:25 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan besar tentang kesejahteraan rakyat Indonesia selalu menjadi PR bagi semua pihak di negeri ini. Sejak proklamasi kemerdekaan 70 tahun silam, sudahkah rakyat Indonesia sejahtera hingga saat ini, khususnya kemerdekaan di bidang ekonomi?

Sektor ekonomi, dalam hal ini gerak laju bisnis Bahan Bakar Minyak atau BBM dari hulu ke hilir hingga kebijakan yang dibuat pihak berwenang menjadi salah satu faktor berpengaruh dalam menyejahterakan. Kenapa? Karena komoditas BBM yang mencapai total 43% konsumsi energi domestik merupakan komoditas strategis yang sangat mempengaruhi perekenomian sektor riil Indonesia.

Melihat besarnya ketergantungan rakyat terhadap penggunaan BBM, juga pundi-pundi yang dihasilkan dari bisnis sumber daya alam tak terbarukan ini, pemerintah mengamanatkan pengelolaannya (beserta keuntungannya) diatur dalam Undang-Undang.

Maka, tertulislah amanat UUD 1945 Pasal 33, sebagai berikut : ayat (1) berbunyi; Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, ayat (2); Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, ayat (3) menyebutkan ; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Intinya adalah pemerintah sebagai lembaga eksekutif berwenang penuh menentukan nasib pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Dan Pertamina bak putri kerajaan yang sangat beruntung mendapatkan “harta warisan” itu. Salah satu monopoli yang dilakukan Pertamina adalah penentuan harga BBM di lapangan.

Lalu, dalam perjalanannya, bagaimana Pertamina mengelola itu semua? Sudahkah kebijakan yang diambil Pertamina sesuai marwah dari UUD Pasal 33?

Jika mencermati dinamika penentuan harga BBM, tentu kita masih ingat pengumuman yang dilakukan Menteri ESDM Sudirman Said yang kontroversial tentang Dana Ketahanan Energi yang menuai banyak respon kontra. Kenapa kontra?

Mari kita cermati.

Kebijakan KemenESDM dan Pertamina dalam pungutan Dana Ketahanan Energi tersebut dirasa masih jauh dari ideal. Tidak transparannya formulasi perhitungan harga serta tidak terbukanya dasar-dasar asumsi yang digunakan dalam perhitungan harga BBM menimbulkan berbagai keraguan dan kecurigaan, benarkah pengelolaan BBM oleh Pertamina sebagai BUMN telah berorientasi untuk kemakmuran rakyat?

Tiga poin yang harus dikritisi: 

1. Ketidakjelasan penetapan harga pokok

Tahukah kalian aturan harga pokok apa yang digunakan Pertamina dalam menentukan BBM?

Penetapan harga BBM Pertamina menggunakan referensi harga MOPS Singapura, di mana sesungguhnya komponen BBM Pertamina ada yang berasal dari dalam negeri dan impor, menunjukan bahwa penetapan harga BBM produksi domestik dilakukan atas mekanisme pasar (bukan refleksi keekoonomian biaya produksi BBM).

Atas kondisi ini ketika harga BBM MOPS naik mengikuti harga pasar, Pertamina menikmati keuntungan diatas biaya produksi (windfall profit) yang diperoleh dari subsidi APBN atau dalam konteks subsidi yang dihilangkah windfall profit Pertamina ini sesungguhnya dibayar oleh rakyat.

Tentu penetapan harga pokok ini rawan sekali kecurangan karena sulit dievaluasi nilainya. Selain karena nilai MOPS sesuai spesifikasi RON Premium tidak publish secara umum, nilai yang digunakan juga tidak jelas, karena menggunakan data sesuai pembelian BBM oleh Pertamina.

Sebagai contoh ketidakjelasan penetapan harga pokok ini adalah berbedanya data yang diberikan Pertamina dan para pengamat. Sebagaimana direlease dalam berita Pikiran Rakyat Online pada tanggal 26 Desember 2015, Pemerintah menyatakan Harga Pokok sebagaimana mengacu kepada harga MOPS rata-rata setidaknya 3 bulan terakhir adalah 56,40 dolar AS/barel sementara Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) mengeluarkan angka 54,60 dolar AS/barel. Perbedaan-perbedaan semacam ini sulit dan tidak pernah secara transparan dijelaskan ke publik.

2. Dasar penggunaan margin 20% untuk komponen alpha

Nilai alpha pada hakikatnya adalah margin badan usaha, sebagai perbandingan nilai 20% ini adalah ilustrasi sebagaimana berikut: Konsumsi BBM dalam negeri mencapai kurang lebih 1,5 Juta barel per hari. Jika menggunakan asumsi harga pokok 50 dolar AS/barel maka nilai alpha 20% setara dengan pemasukan 15 Juta dolar AS per hari atau kurang lebih 200 Milyar per hari. Ini adalah sebuah margin yang fantastis atas kegiatan usaha yang memang sudah dimonopoli sesuai penugasan. Yang menjadi pertanyaan, margin sebesar ini atas dasar apa?

Kalau menggunakan model pengembalian investasi atas pembangunan infrastruktur penyimpanan dan distribusi maka seharusnya dapat dengan mudah dihitung. Yang jelas faktanya, margin inipun tidak secara signifikan mendorong peningkatan kualitas pengelolaan BBM dalam negeri oleh Pertamina. Fasilitas pengolaahan minyak (kilang) yang terakhir dibangun adalah kilang Balongan tahun 1995, sementara fasilitas distribusi SPBU lebih banyak dibangun oleh pihak swasta (SPBU milik Pertamina hanya 120 buah dari sekitar 5500 SPBU di Indonesia). Lalu margin sebesar tadi digunakan untuk apa? Dan yang lebih fundamental, bagaimana transparansi atas penetapan margin alpha sebesar 20% tersebut?

3. Dana Ketahanan Energi

Nah ini poin yang cukup mencekik leher raykat kecil. Soal pungutan yang dilakukan Pertamina dari BBM yang kita beli selama ini.

Dalam komponen harga jual BBM saat ini terdapat Dana Ketahanan Energi yang dikelola oleh Badan Usaha dan dalam pengelolaan keuangannya terkonsolidasi dalam pengelolaan korporat Badan Usaha. Hal ini menimbulkan kerancuan tersendiri mengenai konsep Dana Ketahanan Energi yang sejatinya adalah hal yang positif namun pengelolaan tanpa konsep yang matang, apalagi dikelola oleh Badan Usaha, akan menimbulkan potensi penyelewengan atau pemanfaatan yang tidak optimal.

Di samping pengelolaan BBM subsidi, pengelolaan BBM non subsidi untuk sektor industri juga bisa dikatakan masih sangat jauh dari tranparansi. Di tengah-tengah teriakan industri akan beban kondisi perekonomian, nilai BBM industri oleh Pertamina masih menimbulkan sejumlah pertanyaan. Jika dilihat dari harga HSD Pertamina bulan maret tahun 2016 maka dapat dilihat bahwa kisaran harga HSD adalah sekitar 5,900 Rp/L. Nilai ini masih harus dikenakan pajak-pajak dan margin penyalur untuk menjadi harga distributor. Yang menjadi perhatian adalah darimana patokan penentuan harga dasar HSD Pertamina?

Jika coba dilakukan komparasi terhadap nilai MOPS maka komoditas yang spesifikasinya sesuai dengan HSD Pertamina adalah MOPS MGO (Marine Gas Oil). Harga MOPS MGO untuk periode Maret 2016 sendiri berada dalam kisaran 315 USD/MT atau setara dengan 3,500 Rp/L. Selisih angka yang sangat signifikan ini menimbulkan pertanyaan, apakah penyaluran BBM untuk industri yang notabene market share-nya dikuasai oleh Pertamina telah dimanfaatkan secara semena-mena untuk posisi tawar yang lebih baik?

Nah, jika sudah seperti di mana letak kedaulatan rakyat ditempatkan Pertamina sesuai amanat UUD Pasal 33? Semua analisa dan kebingungan publik hanya menjadi kegeraman yang sulit disalurkan. Jika sudah seperti ini, kita sebagai rakyat kecil bisa apa? Paling hanya misuh-misuh saja kan?

Semoga rakyat jangan lupa bahagia ya bagaimana pun pahit dan licinnya hidup ini di tengah licinnya aturan harga BBM yang dimainkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun