Mohon tunggu...
Mohammad Fahmi
Mohammad Fahmi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Burung Bangau dan Burung Gereja

10 Januari 2016   14:54 Diperbarui: 10 Januari 2016   15:07 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Hei, apakah burung berbeda spesies bisa saling berhubungan?”

“Hah?!”

“Aku barusan bertanya, ‘apakah mungkin burung berbeda spesies saling berhubungan?”

“Aku mendengarnya, bodoh! Aku cuma heran apa yang membuatmu bertanya seperti itu secara tiba-tiba di siang bolong begini.”

Begitulah kira-kira percakapan antara aku dan kawanku di kantor ketika kami sedang istirahat makan siang sambil menonton TV dan memakan bekal dari rumah dimulai. Saat aku mengeluarkan pertanyaan itu, TV di kantor tengah menampilkan berita soal seekor ayam yang ditemukan tewas di kandangnya sendiri tadi malam, jadi tidak mengherankan juga kalau kawanku itu terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba kukeluarkan.

“Ah iya maaf, tapi mungkin tidak ya?” lanjutku.

“Ya mungkin lah! Banyak kok burung yang melakukannya. Memang kenapa lagi kau tiba-tiba bertanya begitu?” tanya temanku.

“Yah, tapi burung-burung yang berhubungan beda spesies tersebut pasti repot banget ya hidupnya. Mulai dari lingkungan sampai keluarga pasti banyak yang komentar,” tambahku lagi.

“Ya namanya juga resiko, emang kenapa sih kau tiba-tiba bertanya begitu? Lagi galau ya?”

“Oh tidak, aku cuma…”

“Ah sudahlah, tidak usah berpura-pura terus, aku tahu soal perasaanmu kepada si burung gereja itu,” potongnya.

“Oke oke oke, Mr. Know-it-All. Kau benar.”

“Jadi lanjut ke pertanyaanmu tadi, apakah mungkin burung beda spesies berhubungan … atau kita buat lebih spesifik saja, apakah burung bangau sepertimu bisa menjalin hubungan dengan seekor burung gereja? Menurutku sih tidak masalah.”

“Ha? Jelaskan coba.”

I mean, yah kalian memang burung yang berbeda jenis, tapi itu kan perbedaan yang kalau dipikir-pikir sangatlah simpel. Paling cuma beda pekerjaan, beda warna bulu, sama tentu saja yang kadang jadi masalah besar … beda jenis makanan. Tapi tidak seharusnya hal tersebut dipikirkan terlalu dalam-dalam lah. Kalau dijalani juga nanti lama-lama terbiasa,” jelas temanku yang terlalu liberal ini.

“Hei tunggu dulu, ini bukan sekadar warna bulu, jenis makanan, dan sejenisnya. Perbedaan yang ada jauh lebih besar tahu. Mulai dari tempat hidup sampai ke cara hidup, semuanya berbeda total,” sanggahku.

“Ah itu memang kau saja yang terlalu banyak kepikiran. Hal minor itu mah, jangan dipikirkan terlalu berlebihan.”

“Bagaimana tidak dipikirkan secara berlebihan, ini masalah masa kini, masa depan, dan masa lalu tahu, berbuat gegabah hanya akan berakhir merugikan.”

“Jadi maumu apa?”

“Tidak tahu…” jawabku sambil menundukkan kepala.

Percakapan ini memang bukan yang pertama kalinya terjadi. Tentunya hasil akhir percakapannya pun kurang lebih selalu sama. Terkadang aku sampai tidak enak sendiri sama temanku yang mungkin saja sudah bosan mendengarkan keluh-kesah tidak ada jawaban yang muncul dari otak unggasku ini.

Kami terdiam sementara sambil temanku memandangiku dengan wajah yang menunjukkan sifat khawatir dan kasihan. Tidak lama kemudian, bel berbunyi dan waktu istirahat kami pun berakhir.

“Ah sudahlah, daripada pusing, lebih baik lanjut bekerja saja. Toh katanya bekerja bisa membantu seseorang melupakan pikiran-pikiran yang tidak perlu,” ucapku kepadanya.

Dia tidak menjawab, hanya terus memandangiku yang tengah bersiap-siap mengantarkan bayi ke orang tua yang sudah menantikan kehadirannya selama sembilan bulan lebih.

Setelah semuanya siap, aku pun membuka pintu kantor dan bersiap untuk pergi. Tepat sebelum pergi, temanku pun memanggil.

“Hei, hati-hati di jalan. Jangan terlalu banyak memikirkan hal tidak penting, bisa bahaya nanti,” ucapnya.

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum mengiyakan sambil kemudian mulai mengepakkan sayapku meninggalkan kantor. Terbang membawa tanggung jawab pekerjaan sambil kepala memikirkan hal yang tidak ada hubungannya sama sekali. Yah semoga semuanya bisa berakhir dengan sempurna … atau setidaknya dengan baik.

Sumber Gambar: The Last Trip by Puguh Fery Kurniawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun