Mohon tunggu...
Fahmi Hisyam
Fahmi Hisyam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar/Mahasiswa

Ordinary student who likes reading and listening to music.

Selanjutnya

Tutup

Book

Stereotip yang Masih Sering Dilakukan Masyarakat Indonesia

1 Desember 2022   09:09 Diperbarui: 1 Desember 2022   09:29 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. penerbit Syalmahat Publishing

Judul                : Sayangi Dirimu, Berhentilah Menyenangkan Semua Orang

Penulis            : Sabrina Ara

Penerbit          : Syalmahat Publishing

Kota Terbit     : Semarang 

Tahun Terbit : 2022 (cetakan keempat)

Tebal : vi + 170 halaman

Ukuran kertas : 14 x 20 cm 

Jenis kertas : Bookpaper

Harga : Rp45.000

Peresensi : Fahmi Hisyam Azmi 

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang 

Buku bertajuk "Sayangi Dirimu, Berhentilah Menyenangkan Semua Orang" karya Sabrina Ara membahas hampir semua sisi negatif manusia, terutama masyarakat Indonesia. Pembahasan kali ini diambil dari beberapa topik yang dibahas dalam buku tersebut. Seperti yang kita tahu, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang tak ada hentinya dalam ikut andil dalam kehidupan orang lain. Entah itu hanya dengan mengomentari atau bahkan ikut campur masalah tersebut.

Indonesia sendiri menduduki peringkat nomer tujuh dalam nominasi negara paling ramah di dunia. Dikarenakan kepedulian mereka terhadap orang lain, dalam hal positif. Sedangkan, dalam hal negatif Indonesia juga tidak kalah unggul. Seperti dalam memberi komentar-komentar tidak perlu.

Seperti halnya ketika sebuah keluarga dengan ekonomi yang bisa dibilang pas-pasan hendak menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang perguruan tinggi. Pasti ada satu atau dua orang yang berkomentar "Miskin saja belagu" "Sekolah tinggi memang dapat apa? Kertas aja kan? Bukan uang." Hal di atas merupakan contoh valid dari masyarakat Indonesia yang lumrah dijumpai, atau bahkan kita para pembaca merupakan salah satu dari banyak masyarakat Indonesia yang masih berpikiran demikian?

Masalah tersebut juga merupakan salah satu yang dibahas oleh Sabrina Ara di dalam buku ini. (hal. 17-20) "tujuan Pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan" -Tan malaka. Kutipan tersebut turut disertakan penulis untuk menjawab stereotip negatif dari orang-orang yang menanyakan apa guna dari sekolah tinggi. Namun, komentar tersebut tidak hanya kita dapatkan dari masyarakat, orang terdekat seperti keluarga kita sendiri juga tidak jarang melakukan hal yang sama meskipun sedikit berbeda.

Salah satu komentar dari keluarga kita seperti "Semakin tinggi sekolahnya, akan semakin besar penghasilan yang didapatkan." Hal tersebut juga ditegaskan oleh Sabrina Ara bahwa masyarakat Indonesia masih berpegang teguh pada stereotip seperti tingginya Pendidikan seseorang harus tinggi pula penghasilan materi yang kelak menyertainya. Sementara urusan rezeki seseorang, bukankah sudah digariskan mutlak oleh Tuhan yang maha pemberi? Manusia hanya wajib berusaha, hasilnya siapa yang dapat menduga?

Dari penjelasan di atas, terbaca kesan akan dangkalnya standar yang memvonis kegagalan seoarang terpelajar hanya dilihat dari bukit penghasilan yang dihimpunnya. Bila "bukit" itu rendah, maka Pendidikan yang dienyamnya akan dianggap sia-sia. Bahkan mereka tidak memperhitungkan jika pendidikan  tinggi dapat mengubah kacamata seseorang dalam memandang sebuah masalah. 

Belakangan, semakin banyak ibu rumah tangga yang memiliki background Pendidikan tinggi, tetapi memilih meninggalkan karirnya. Mereka tentu bukan semata tidak diterima oleh dunia kerja, melainkan pilihan yang diambil dengan sadar akan kebutuhan untuk mengurus keluarga secara total. Mereka menanggalkan harapan orang tuanya untuk dapat menjadi pegawai setelah disekolahkan dengan susah payah.

"Nah, kan, perempuan. Mau sekolahmya tinggi-tinggi pun tempatnya tetap di rumah." Begitu komentar orang-orang konvensional yang selalu menempatkan perempuan pada urusan domestik. Padahal, mereka tidak tahu bahwa ibu yang berpendidikan tinggi adalah aset penting dalam pengasuhan anak-anak mereka.

Bahkan, tidak dapat dimungkiri bahwa pendidikan dapat menyelamatkan seseorang dari masalah-masalah pelik yang mungkin tidak dapat diurai oleh orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan. Maka, bila pilihan kita tidak disukai oleh banyak orang, kita hanya perlu berpikir bahwa tidak mungkin membuat semua orang menyukai kita.

"DASAR ORANG INDONESIA. Pasti jam karet!" (hal. 21-22)

Tentu sudah tidak asing lagi bagi kita para pembaca saat mendengar ungkapan tersebut. Kita sama tahu bahwa orang Indonesia memang dianggap sebagai orang-orang yang suka terlambat. Namun, jika kita berada di posisi yang menerima kata-kata tersebut dari orang lain, rasanya pasti tidak nyaman. Terlebih bila kita sudah berusaha sebaik mungkin untuk datang tepat waktu, tapi tetap saja dimasukkan ke dalam stereotip negatif akibat orang lain yang suka molor saat janjian.

Tidak hanya soal jam karet, sesama orang Indonesia saja kita kerap bertindak rasis. "Dasar orang solo, nggak bisa diajak kerja cepat!" "Tukang nggerundel, kau pasti orang Jawa ya?" Padahal, definisi dari stereotip dalam KBBI sendiri adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka subjektif dan tidak tepat.

Artinya, belum tentu orang yang berasal dari daerah tertentu, memiliki tabiat yang telah di-stereotip-kan orang banyak. Hanya karena orang solo terkenal lemah lembutnya, bukan berarti semua orang solo lambat dalam bekerja. Hanya karena satu kisah gadis materialistis dari suatu daerah, sangatlah tidak bijak bila daerah tersebut distempel dengan gadis-gadis yang mata duitan.Namun sayangnya, terkadang kita tidak dapat menghindar dari paparan stereotip yang merugikan tersebut. tanpa merasa telah berbuat kesalahan, kita bisa saja menjadi sasaran kebencian orang lain.

"aku tidak suka temanmu itu. Dia orang kota A, kan? Pasti dia pelakor. Soalnya, bapakku dulu selingkuh sama orang sana"  

Sebagai orang timur yang menjunjung tinggi norma kesopanan, biasanya kita akan segan untuk menolak permintaan, ajakan, atau tawaran orang lain. Terlebih bila berkaitan dengan orang terdekat seperti saudara, sahabat, atau rekan kantor. Berkata "ya" ibarat template jawaban yang susah diubah. Meskipun, jawaban tersebut terkadang memberatkan. (hal. 139-142)

Misalnya, ketika kita harus mengerjakan pekerjaan yang mendekati deadline, tetapi tiba-tiba seorang teman mengajak bertemu. Karena tidak enak menolak, maka kita pun mengiyakan, dengan mengambil resiko pekerjaan kita tidak selesai tepat waktu.

Lalu apakah kita akan terus menerus membebani diri dengan sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan hati? Jawabannya tentu saja tidak. Menyenangkan orang lain memang baik, tetapi kita harus belajar berkata "tidak" untuk beberapa waktu yang tidak kita inginkan.

Mungkin berat untuk berkata "tidak". Bisa saja sikap tersebut menutup banyak kesempatan. Namun, terkadang hidup harus mengambil sikap yang tegas untuk dapat menghargai diri sendiri dan membuat kita lebih bahagia bukan?

Selain itu, tidak mampu berkata "tidak" akan membuat kita terlihat lemah, sehingga orang lain senang memanfaatkan kita. Karna itu, kita harus berlatih berkata "tidak". Meskipun mungkin butuh waktu lama, tetapi itu akan membuat kita jauh lebih baik.

Sabrina Ara pun turut menyertakan beberapa tips untuk berlatih berkata "tidak" pada orang yang tidak kita sukai atau untuk hal-hal yang tidak kita inginkan. Yaitu dengan membuang jauh perasaan takut, kenali alasan kita menolak, berikan alasan dengan cara santun, dan katakan tidak sejak awal.

Begitulah, caranya. Menolak tidak selalu buruk, kok. Selain membuat kita lebih Bahagia karena tidak harus berpura-pura setuju untuk melakukan apa yang tidak diinginkan berkata "tidak" juga sebuah usaha untuk menghentikan orang lain yang selalu ber-gantung kepada kita.

Buku ini memiliki beberapa kelebihan dan tidak ditemukan adanya kekurangan yang menonjol. Diantara kelebihan tersebut ialah mudah dipahami karena menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, buku ini juga berisi pembahasan yang masih berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, terakhir, buku ini juga mampu mengubah sudut pandang pembaca dalam melihat dan mengatasi sebuah masalah.

Kelemahan buku ini adalah sedikitnya ilustrasi gambar yang ditemukan untuk menarik minat baca para pembaca. Namun, itu bukanlah hal besar sehingga buku ini masih sangat layak untuk menjadi bacaan di waktu luang.

Dari penilaian di atas, menurut saya buku ini sangat direkomendasikan untuk menjadi salah satu bacaan di waktu luang. Selain menarik untuk dibaca, buku ini juga mampu membuat pembaca memandang sebuah permasalahan dengan sudut pandang lain, yang jarang kita gunakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun