Mohon tunggu...
Fahmi Hisyam
Fahmi Hisyam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar/Mahasiswa

Ordinary student who likes reading and listening to music.

Selanjutnya

Tutup

Book

Stereotip yang Masih Sering Dilakukan Masyarakat Indonesia

1 Desember 2022   09:09 Diperbarui: 1 Desember 2022   09:29 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. penerbit Syalmahat Publishing

Buku bertajuk "Sayangi Dirimu, Berhentilah Menyenangkan Semua Orang" karya Sabrina Ara membahas hampir semua sisi negatif manusia, terutama masyarakat Indonesia. Pembahasan kali ini diambil dari beberapa topik yang dibahas dalam buku tersebut. Seperti yang kita tahu, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang tak ada hentinya dalam ikut andil dalam kehidupan orang lain. Entah itu hanya dengan mengomentari atau bahkan ikut campur masalah tersebut.

Indonesia sendiri menduduki peringkat nomer tujuh dalam nominasi negara paling ramah di dunia. Dikarenakan kepedulian mereka terhadap orang lain, dalam hal positif. Sedangkan, dalam hal negatif Indonesia juga tidak kalah unggul. Seperti dalam memberi komentar-komentar tidak perlu.

Seperti halnya ketika sebuah keluarga dengan ekonomi yang bisa dibilang pas-pasan hendak menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang perguruan tinggi. Pasti ada satu atau dua orang yang berkomentar "Miskin saja belagu" "Sekolah tinggi memang dapat apa? Kertas aja kan? Bukan uang." Hal di atas merupakan contoh valid dari masyarakat Indonesia yang lumrah dijumpai, atau bahkan kita para pembaca merupakan salah satu dari banyak masyarakat Indonesia yang masih berpikiran demikian?

Masalah tersebut juga merupakan salah satu yang dibahas oleh Sabrina Ara di dalam buku ini. (hal. 17-20) "tujuan Pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan" -Tan malaka. Kutipan tersebut turut disertakan penulis untuk menjawab stereotip negatif dari orang-orang yang menanyakan apa guna dari sekolah tinggi. Namun, komentar tersebut tidak hanya kita dapatkan dari masyarakat, orang terdekat seperti keluarga kita sendiri juga tidak jarang melakukan hal yang sama meskipun sedikit berbeda.

Salah satu komentar dari keluarga kita seperti "Semakin tinggi sekolahnya, akan semakin besar penghasilan yang didapatkan." Hal tersebut juga ditegaskan oleh Sabrina Ara bahwa masyarakat Indonesia masih berpegang teguh pada stereotip seperti tingginya Pendidikan seseorang harus tinggi pula penghasilan materi yang kelak menyertainya. Sementara urusan rezeki seseorang, bukankah sudah digariskan mutlak oleh Tuhan yang maha pemberi? Manusia hanya wajib berusaha, hasilnya siapa yang dapat menduga?

Dari penjelasan di atas, terbaca kesan akan dangkalnya standar yang memvonis kegagalan seoarang terpelajar hanya dilihat dari bukit penghasilan yang dihimpunnya. Bila "bukit" itu rendah, maka Pendidikan yang dienyamnya akan dianggap sia-sia. Bahkan mereka tidak memperhitungkan jika pendidikan  tinggi dapat mengubah kacamata seseorang dalam memandang sebuah masalah. 

Belakangan, semakin banyak ibu rumah tangga yang memiliki background Pendidikan tinggi, tetapi memilih meninggalkan karirnya. Mereka tentu bukan semata tidak diterima oleh dunia kerja, melainkan pilihan yang diambil dengan sadar akan kebutuhan untuk mengurus keluarga secara total. Mereka menanggalkan harapan orang tuanya untuk dapat menjadi pegawai setelah disekolahkan dengan susah payah.

"Nah, kan, perempuan. Mau sekolahmya tinggi-tinggi pun tempatnya tetap di rumah." Begitu komentar orang-orang konvensional yang selalu menempatkan perempuan pada urusan domestik. Padahal, mereka tidak tahu bahwa ibu yang berpendidikan tinggi adalah aset penting dalam pengasuhan anak-anak mereka.

Bahkan, tidak dapat dimungkiri bahwa pendidikan dapat menyelamatkan seseorang dari masalah-masalah pelik yang mungkin tidak dapat diurai oleh orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan. Maka, bila pilihan kita tidak disukai oleh banyak orang, kita hanya perlu berpikir bahwa tidak mungkin membuat semua orang menyukai kita.

"DASAR ORANG INDONESIA. Pasti jam karet!" (hal. 21-22)

Tentu sudah tidak asing lagi bagi kita para pembaca saat mendengar ungkapan tersebut. Kita sama tahu bahwa orang Indonesia memang dianggap sebagai orang-orang yang suka terlambat. Namun, jika kita berada di posisi yang menerima kata-kata tersebut dari orang lain, rasanya pasti tidak nyaman. Terlebih bila kita sudah berusaha sebaik mungkin untuk datang tepat waktu, tapi tetap saja dimasukkan ke dalam stereotip negatif akibat orang lain yang suka molor saat janjian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun