Di sinilah wilayah Kepaksian Skala Brak di kawasan kaki gunung Pesagi Lampung Barat. Kerajaan yang dirintis oleh Raja Buay Tumi dari suku Tumi. Lalu di masa Ratu Sekerumong sebagai penguasa terakhir kerajaan Skala Brak, ditaklukkan oleh empat pangeran utusan kerajaan Pagaruyung dari Tanah Datar, Sumatera Barat. Keempat pangeran itu, yakni Inder Gajah, Belunguh, Sikin, dan Pak Lang kemudian memecah Kepaksian Skala Brak menjadi empat wilayah dan berkuasa di wilayahnya masing-masing dengan gelar Umpu Buay Nyerupa (Sukau), Umpu Buay Belunguh (Kinali, Belalau). Umpu Bejalan Di Way (Kembahang), dan Umpu Buay Pernong (Batubrak).
Ayahku yang tadi tampaknya tidur tiba-tiba bertanya, "Kenapa Bang, kok jadi pelan semua?" Â "Entah, itu mobil di depan juga pada berhenti." Jawab abang, sambil membuka kaca ingin coba mencari tahu dengan bertanya pada masyarakat di pinggir jalan. Suara-suara alat music khas Lampung yang tadi terdengar sayup kini menjadi lebih jelas terdengar di dalam mobil. Beberapa pemuda tampak berkerumun di pinggir jalan tepat di depan salah satu rumah penduduk. Tadinya kami berpikir terjadi musibah kecelakaan atau tanah longsor, dan lainnya yang biasanya menghambat perjalanan di daerah pegunungan.
Semakin dekat kendaraan kami merayap menyusuri jalan yang akan melewati rumah itu, semakin ramai dan semakin jelas terlihat apa yang terjadi. "Ooh, ada yang beghawi ini, pantes macet." kataku. Keluarga di rumah itu tampaknya sedang mempersiapkan pesta besar yang secara adat biasanya bisa sampai tiga hari bahkan lebih. Dari dekorasinya seperti akan ada pesta pernikahan besar. Beberapa pemuda-pemudi terlihat seperti sedang berlatih menari diiringi bunyi tetabuhan alat musik tradisional Lampung di bawah panggung. Banyak warga yang berkerumun berpakaian biasa tetapi beberapa pemuda mengenakan kain sarung setengah tiang yang dililitkan di pinggang. Â
Kendaraan kami beserta yang lain di depan dan di belakang terus berjalan dengan sangat perlahan. Menerobos kerumunan seperti ini butuh kehati-hatian dan kesabaran supaya tidak menyinggung kepentingan hajat mereka. Maklumlah, ini daerah beserta kehormatan mereka. Dari balik kaca di dalam mobil aku terus memperhatikan dan berusaha menikmati apa yang kulihat. Keriangan penari itu tiba-tiba terhenti oleh suara parau laki-laki paruh baya. Irama tetabuhannya pun berganti menjadi terputus-putus, sesaat berbunyi, sesaat kemudian diam ketika lelaki paruh baya itu bersuara. "Apa lelaki paruh baya itu juga sedang berlatih untuk pentas saat pesta?" Batinku bertanya.
Â
"Asalamualikumsalam...tabiiik puuun ya salaam...." Demikian suara yang kutangkap dari lelaki paruh baya yang parau dan sayup-sayup sedikit berirama. Aku mencoba mencari pembenaran, menurutku ini pembuka warahan, atau seni cerita lisan masyarakat Lampung. Jika benar, berarti lelaki paruh baya yang bersuara parau itu seorang pewarah atau tukang cerita. Tidak jauh dari tempatnya bersila, sempat kulihat tadi ada alat music dari bamboo, yang lazim disebut gamolan.Â
Adalah Emak yang kali pertama mengenalkanku dengan tetabuhan ini. Tetabuhan khas Lampung yang menurutku kampungan, nadanya terbatas dan tidak beraturan, susah masuk untuk mengiring lagu yang sesuai selera anak muda seumurku. Kalaupun bisa paling sebatas lagu-lagu khas daerah Lampung, dan itu pun tidak ada merdunya sedikitpun. Hanya rentetan bunyi tang ting tung tang tang tung ting ting tung tang yang berderet antre ingin memaksa masuk ke lagu, padahal begitu berhasil masuk tidak ada yang selaras dengan lagu yang dimasuki.
Ketidaksukaanku itu sebenarnya bukan tidak beralasan. Aku masih ingat betul penjelasan emak waktu di kelas, "Gamolan ini cikal-bakalnya bukanlah sebagai alat musik, tetapi sebatas kentongan bamboo untuk mengumpulkan warga. Sesuai perkembangan zaman dan kebutuhan untuk berkesenian, maka dimodifikasi menjadi alat musik yang terdiri dari beberapa lempengan bamboo yang bertengger di atas bamboo bulat sehingga menghasilkan resonansi bunyi". Jadi sah sudah penolakanku terhadap alat musik kampungan ini. Kalau memang alat musik ini dulunya punya pamor yang hebat, punya peran, kenapa tidak pernah berdampingan dengan kawan-kawannya sesama alat musik di panggung pentas. Tiba-tiba saja muncul sebagai temuan barang antik bukti peradaban seni musik daerah masa lalu.
 Â
Emak adalah guruku, guru kami semua di sekolah elit di kotaku. Entah mengapa dipanggil emak aku tak tahu persis. Tapi yang jelas semua kakak kelasku memanggilnya begitu. Sepertinya kakak kelasku pun dulunya juga mengikuti kakak kelasnya, turun-temurun. Mungkin lebih tepat sebagai emak karena sikapnya ketika memperlakukan kami seperti layaknya seorang ibu memperlakukan anaknya. Tapi kami umumnya menerima dan menuruti kalau emak sudah turun tangan mengejar-ngejar saat kami malas upacara atau melambat-lambatkan diri menuju masjid.
Suara tetabuhan persiapan pesta itu semakin tidak terdengar, tetapi aku masih terjebak dalam pikiran yang berputar-putar di senandung pembuka warahan oleh lelaki paruh baya bersuara parau. Aku terbiasa melihat beragam pentas seni tradisional. Setiap sanggar tari pasti memiliki penari dari yang level mahir sampai kelas pemula yang masih harus terus dilatih, semuanya berisi anak-anak muda yang enerjik, cantik jelita dan gagah rupawan pula. Bahkan guru-guru tarinya pun masih muda-muda. Dalam berseni suara pun begitu. Penyanyi atau apalah namanya yang berkaitan dengan seni suara tradisional juga berisi orang-orang muda penuh bakat, dengan penampilan dan gaya yang penuh pukau, muda, jelita, gagah rupa bertenaga.