Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (1940-2020) adalah salah satu sastrawan besar Indonesia yang kiprahnya dikenal luas sebagai penyair angkatan 1970-an. Lahir di Ngadijayan, Solo, Sapardi menonjol sebagai seorang sastrawan akademik, guru besar, dan kritikus sastra yang mampu mengemas simbol-simbol sederhana dalam puisi penuh makna. Karya-karyanya yang terkenal seperti Aku Ingin, Hujan Bulan Juni, dan Pada Suatu Hari Nanti terus diapresiasi hingga kini, bahkan sering muncul dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia.
PENGANTAR
Sapardi Djoko Damono telah menerima berbagai penghargaan bergengsi, seperti SEA Write Award (1986) dan Achmad Bakrie Award (2003). Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, menandakan pengakuan internasional terhadap karyanya. Menurut A. Teeuw dalam Sastra Indonesia Modern II (1989), Sapardi adalah seorang cendekiawan muda yang mulai menulis pada tahun 1960 dan menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam susunan formal puisi-puisinya. Dengan orisinalitas dan kreativitas yang luar biasa, Sapardi menawarkan pembaruan yang mengejutkan dalam persajakan. Abdul Hadi W.M. mengagumi Sapardi karena puisi-puisinya memiliki kemiripan dengan simbolisme dalam persajakan Barat sejak akhir abad ke-19. Selain itu, Pamusuk Eneste dalam Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern (1988) memasukkan Sapardi ke dalam kelompok pengarang Angkatan 1970-an. Sapardi, yang meninggal dunia pada 19 Juli 2020 di usia 80 tahun, meninggalkan jejak besar dalam dunia sastra Indonesia.
Hujan Bulan Juni merupakan salah satu karya ikonik Sapardi Djoko Damono yang penuh romantisme. Orang awam yang tidak begitu memahami simbolisme dalam puisi bisa terkecoh, mengira hujan dalam puisi tersebut adalah hujan secara harfiah. Padahal, secara logika, di wilayah Indonesia hujan lebih sering turun pada bulan September hingga Desember. Jadi, jika hujan turun di bulan Juni, apa dan menyimbolkan apa sebenarnya hujan tersebut? Di sinilah letak kedahsyatan puisi karya Sapardi. Kumpulan puisi Hujan Bulan Juni diterbitkan oleh Grasindo Jakarta pada tahun 1994, berisi 102 puisi yang ditulis antara tahun 1959 hingga 1994. Menilik isi buku ini, pola persajakan simbolik dalam puisi-puisi Sapardi memang mencerminkan kekaguman tokoh seperti A. Teeuw dan Abdul Hadi W.M. Namun, penulis melihat ada kekuatan unsur mistisisme pada puisi-puisi karya SDD. Entah apakah mistisisme seorang Sapardi karena dipengaruhi latar budaya Jawanya yang identik dengan “Kejawen”, atau agama apapun, yang jelas pada beberapa puisi yang terdapat pada kumpulan puisi Hujan Bulan Juni mencerminkan unsur itu. Melalui pencermatan makna pada judul dan isi, pada 102 judul puisi yang terdapat pada buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono itu terdapat 27 judul puisi yang dapat digolongkan beraliran mistisisme.
Mistisisme, menurut Winariah Lubis (2017), merupakan bagian dari aliran idealisme, yang menekankan dunia ide, cita-cita, dan harapan sebagai tujuan utama dalam pemikiran manusia. Aliran ini berakar pada pemikiran mistik yang mencakup segala sesuatu yang ada di alam semesta dan mencari penyatuan diri dengan Tuhan melalui karya sastra. Pengetahuan tentang hubungan penuh rahasia yang bersifat subjektif antara manusia dan Tuhan inilah yang disebut mistisisme. Hubungan tersebut bersifat spiritual dan melibatkan kalbu, sehingga menjadi rahasia antara manusia dan Tuhannya. Mistisisme juga mengajarkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan kebenaran hakiki hanya dapat dicapai melalui meditasi dan perenungan spiritual, bukan melalui pancaindra (Agus, dalam Wahidi, 2013).
Indra Trenggono (dalam Parwanto, 2022) menjelaskan bahwa mistisisme Jawa dalam karya sastra menjadi media untuk menyatukan realitas dengan imajinasi dalam menjalani kehidupan manusia. Ia menyebutkan bahwa "nilai-nilai mistisisme dalam sastra tidak tereduksi, tetapi mengalami proyeksi yang sangat dalam sehingga melahirkan transformasi estetis." Dalam proses ini, karya sastra mencerminkan pengalaman metafisik penciptanya. Dengan demikian, meskipun mistisisme berhubungan dengan hal-hal gaib, penuh rahasia, dan di luar nalar, pada dasarnya ia adalah pengalaman spiritual yang mendekatkan manusia kepada Tuhan. Dalam konteks puisi-puisi Sapardi Djoko Damono (SDD), pendekatan mistisisme ini membantu memahami bahwa meskipun SDD bukan pribadi yang religius dalam arti formal, ia memiliki kedekatan spiritual yang mendalam. Hal ini terlihat dalam puisinya yang menjadi wadah ekspresi ide, perasaan, imajinasi, dan pengalaman batinnya.
MISTISISME DALAM PUISI SDD
Dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni, terdapat beberapa karya yang secara kuat menggambarkan unsur mistisisme. Puisi-puisi ini menghadirkan refleksi mendalam tentang hubungan manusia dengan Tuhan, perenungan tentang eksistensi, dan kontemplasi spiritual yang dikemas dalam bahasa yang sederhana namun sarat makna. Berikut ini beberapa puisi SDD yang mencerminkan kekuatan dimensi mistisisme tersebut.
SAJAK DESEMBER
Kutanggalkan mantel serta topiku yang tua
ketika daun penanggalan gugur
lewat tengah malam. kemudian kuhitung
hutang-hutangku pada-Mu
mendadak terasa: betapa miskinnya diriku;
di luar hujan pun masih kudengar
dari celah-celah jendela. Ada yang terbaring
di kursi letih sekali
masih patutkah kuhitung segala milikku
selembar celana dan selembar baju
ketika kusebut berulang nama-Mu; taram-
temaram bayang, bianglala itu
Sajak Desember karya SDD ini bertema introspeksi pada masa tua, menggambarkan momen penilaian atas perjalanan hidup yang telah dilalui. Penyair menggunakan metafora alam, seperti daun penanggalan yang gugur dan hujan yang terdengar dari celah jendela, untuk membingkai suasana batin yang mencerminkan perubahan dan kerinduan emosional. Ungkapan seperti "miskinnya diriku," "ada yang terbaring di kursi letih sekali," dan "masih patutkah kuhitung segala milikku" menunjukkan perasaan keterbatasan dan kelelahan di usia tua, serta kebutuhan untuk melepaskan beban. Penyair juga mengekspresikan hubungan dengan Tuhan melalui frasa seperti "kutanggalkan mantel serta topiku yang tua" dan "hutang-hutangku pada-Mu," yang mencerminkan introspeksi dan pembersihan diri sambil menghitung kembali hubungan dengan Yang Maha Kuasa. Mistisisme terungkap lewat pengakuan penyair terhadap keagungan Tuhan, yang simbolisasikan kedekatan dan pemahamannya atas ketuhanan. Desember, sebagai bulan terakhir dalam setahun, menjadi simbol masa tua atau akhir perjalanan hidup, tercermin dalam bait pertama, "Kutanggalkan mantel serta topiku yang tua, ketika daun penanggalan gugur, lewat tengah malam. Kemudian kuhitung, hutang-hutangku pada-Mu." Hal ini semakin dikuatkan pada bait terakhir, "ketika kusebut berulang nama-Mu; taram-temaram bayang, bianglala itu," di mana bianglala (pelangi) melambangkan keindahan yang memudar akibat kelalaian. Puisi ini menyiratkan introspeksi mendalam dan mengingatkan pembaca untuk merenungkan hubungan dengan Tuhan di akhir hidup.
PADA SUATU HARI NANTI
Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari
Puisi SDD berjudul Pada Suatu Hari Nanti dicipta tahun 1991, atau 29 tahun sebelum kematiannya. Puisi ini seakan-akan sebagai salam perpisahan kepada siapapun yang dikenalnya, terutama para pecinta puisi. Puisi tersebut seperti hendak berpamitan sekaligus mengingatkan kepada semua orang bahwa dunia ini fana, tidak abadi. Dirinya, dan siapapun suatu saat pasti akan kembali kepada sang Pencipta. “Pada suatu hari nanti, jasadku tak akan ada lagi”, dan “pada suatu hari nanti, suaraku tak terdengar lagi”, menjadi bukti kuat gambaran kefanaan itu.
Meski menggambarkan kematian dengan suasana yang mencekam, puisi ini tetap memunculkan keromantisan khas SDD. Romantisme setiap orang yang akan pergi dan yang ditinggalkan itu selalu ada, terutama yang memiliki kedekatan emosional mendalam serta yang meninggalkan kebaikan. Ini ditunjukkan dengan penggunaan kata ‘tapi’ dan ‘namun’ pada puisi tersebut. “tapi dalam bait-bait sajak ini, kau tak akan kurelakan sendiri”, “tapi di antara larik-larik sajak ini, Kau akan tetap kusiasati”, dan “namun di sela-sela huruf sajak ini, kau tak akan letih-letihnya kucari”. Sebuah keniscayaan bagi seotrang maestro meskipun jasadnya tiada, tetap mengabadi melalui karyanya sebagaimana janjinya dalam larik-larik tersebut.
MAUT
maut dilahirkan waktu fajar
ia hidup dari mata air,
itu sebabnya ia tak pernah
mengungkapkan seluk-beluk karat
yang telah mengajarinya bertarung
melawan hidup; ia juga takkan mau
menjawab teka-teki senja-kala
yang telah mengnahbiskannya
menjadi penjaga gerbang itu
maut mencintai fajar
dan mata air, dengan tulus.
Puisi “Maut” karya Sapardi Djoko Damono adalah sebuah karya mendalam yang penuh simbolisme, merangkum makna keberadaan dan peran kematian dalam kehidupan manusia. Puisi ini mengajak pembaca merenungkan hubungan maut dengan alam dan kehidupan, mengingatkan bahwa maut adalah bagian dari siklus hidup. Pada bait “maut dilahirkan waktu fajar, ia hidup dari mata air” dan “maut mencintai fajar, dan mata air, dengan tulus”, terdapat simbol yang menggambarkan siklus kehidupan, dengan fajar sebagai awal baru dan mata air sebagai simbol kehidupan. Kematian dihidupi oleh esensi kehidupan itu sendiri, menunjukkan bahwa keduanya saling terhubung. Melalui simbolisme kuat, puisi ini menggambarkan kematian sebagai penjaga gerbang antara hidup dan mati, menekankan bahwa kematian adalah bagian esensial dari keberadaan. Kematian menjadi titik klimaks dari perjalanan hidup yang tak dapat dihindari, dan ketika saat itu tiba, manusia harus menerima kenyataan tersebut. Kematian sering hadir dalam karya penyair sebagai tema yang memicu refleksi tentang akhir kehidupan.
SIMPULAN
Membaca puisi-puisi mistisisme karya Sapardi Djoko Damono seperti sedang membaca elegi yang dikemas dengan elegan, menyentuh rasa tanpa menimbulkan kesan menyeramkan. Meskipun puisi mistisisme tidak selalu tentang kematian, karena bisa juga tentang ketakjuban atas ciptaan Tuhan, namun menarik bahwa dari 102 puisi dalam kumpulan Hujan Bulan Juni, terdapat 27 judul yang beraliran mistisisme dan berbicara tentang kematian. Jauh sebelum kembali menghadap Sang Pencipta, SDD telah menuangkan tema kematian dalam puisi-puisinya yang populer, membuktikan bahwa sastra dapat menjadi jembatan untuk membagikan pengalaman batin yang tidak bisa disampaikan melalui komunikasi sehari-hari. Puisi-puisi mistisisme SDD berhasil menghubungkan pengalaman spiritual penyair dengan pembaca, menciptakan dimensi transendental antara manusia, Tuhan, dan alam semesta.
REFERENSI
Damono, S. D. (2013). Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lubis, W. (2017). Mengenal Aliran Sastra. Gurusiana. Diakses dari https://www.gurusiana.id/read/emiwati.com/article/mengenal-aliran-sastra-1218184
Parwanto, D. (2022). Bincang-Bincang Perspektif Mistisisme Jawa dalam Sastra. RRI Yogyakarta. Diakses dari https://www.rri.co.id/daerah/82699/prespektif-mistisisme-jawa-dalam-sastra
Wahidi, A. (2013). Mistisisme Sebagai Jembatan Menuju Kerukunan Umat Beragama. Ulul Albab, 14(2). Diakses dari https://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/ululalbab/article/download/2653/4583
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI