Mohon tunggu...
Muhammad Afif Al Fahmi Asri
Muhammad Afif Al Fahmi Asri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aspiring Educator | Indonesian Language and Literature Student at UNP | Graphic Design & Poetry Enthusiast | Writer

Saya Muhammad Afif Al Fahmi Asri, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Padang. Saya memiliki hobi menulis puisi, dan hobi ini berhasil membawa saya untuk menerbitkan buku antologi puisi pertama saya yang berjudul "Menghitung Sisa Hari". Selain fokus pada penulisan sastra, saya aktif menulis di platform seperti GNFI, Kompasiana, dan Indonesiana, berbagi cerita, opini, serta inspirasi kepada pembaca luas. Menulis bukan hanya hobi, melainkan cara saya menyampaikan suara, mencipta karya, dan meninggalkan jejak yang bermakna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengungkap Mistisisme Hujan Bulan Juni

9 Desember 2024   15:56 Diperbarui: 6 Januari 2025   01:40 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Sapardi Djoko Damono (Sumber: Gramedia Blog)

kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,

suaraku tak terdengar lagi,

tapi di antara larik-larik sajak ini

Kau akan tetap kusiasati

Pada suatu hari nanti,

impianku pun tak dikenal lagi,

namun di sela-sela huruf sajak ini,

kau tak akan letih-letihnya kucari

Puisi SDD berjudul Pada Suatu Hari Nanti dicipta tahun 1991, atau 29 tahun sebelum kematiannya. Puisi ini seakan-akan sebagai salam perpisahan kepada siapapun yang dikenalnya, terutama para pecinta puisi. Puisi tersebut seperti hendak berpamitan sekaligus mengingatkan kepada semua orang bahwa dunia ini fana, tidak abadi. Dirinya, dan siapapun suatu saat pasti akan kembali kepada sang Pencipta. “Pada suatu hari nanti, jasadku tak akan ada lagi”, dan “pada suatu hari nanti, suaraku tak terdengar lagi”, menjadi bukti kuat gambaran kefanaan itu.

Meski menggambarkan kematian dengan suasana yang mencekam, puisi ini tetap memunculkan keromantisan khas SDD. Romantisme setiap orang yang akan pergi dan yang ditinggalkan itu selalu ada, terutama yang memiliki kedekatan emosional mendalam serta yang meninggalkan kebaikan. Ini ditunjukkan dengan penggunaan kata ‘tapi’ dan ‘namun’ pada puisi tersebut.  “tapi dalam bait-bait sajak ini, kau tak akan kurelakan sendiri”, “tapi di antara larik-larik sajak ini, Kau akan tetap kusiasati”, dan “namun di sela-sela huruf sajak ini, kau tak akan letih-letihnya kucari”.  Sebuah keniscayaan bagi seotrang maestro meskipun jasadnya tiada, tetap mengabadi melalui karyanya sebagaimana janjinya dalam larik-larik tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun